tag:blogger.com,1999:blog-46481157963268303982024-03-28T02:27:51.328-07:00BLOG PEMBELAJARBelajar merupakan sebuah keniscayaanHeru_Aja24http://www.blogger.com/profile/16183423922173939972noreply@blogger.comBlogger7125tag:blogger.com,1999:blog-4648115796326830398.post-91117114919364289402010-09-15T21:19:00.000-07:002010-09-15T21:19:56.535-07:00MENIMBA ILMU DI UNIVERSITAS KEHIDUPAN<div style="text-align: justify;"></div><div class="UIComposer_InputArea_Base UIComposer_InputArea" style="text-align: justify;"><div class="UIComposer_InputShadow"><div class="Mentions_Input" contenteditable="true" id="c4c918f963494f4bb1eb7b_input" style="width: 510px;">Ketika kerjamu tidak dihargai, maka saat itu kau sedang belajar<br />
tentang <b style="color: yellow;">KETULUSAN</b><span style="color: yellow;">.</span></div><div class="Mentions_Input" contenteditable="true" id="c4c918f963494f4bb1eb7b_input" style="width: 510px;"><br />
Ketika usahamu dinilai tidak penting, maka saat itu kau sedang belajar<br />
tentang<span style="color: blue;"><span style="color: black;"> </span></span><b style="color: yellow;">KEIKHLASAN</b><span style="color: yellow;">.</span></div><div class="Mentions_Input" contenteditable="true" id="c4c918f963494f4bb1eb7b_input" style="width: 510px;"><br />
Ketika hatimu terluka sangat dalam, maka saat itu kau sedang belajar<br />
tentang <b style="color: yellow;">MEMAAFKAN</b><span style="color: yellow;">.</span></div><div class="Mentions_Input" contenteditable="true" id="c4c918f963494f4bb1eb7b_input" style="width: 510px;"><br />
Ketika kau harus lelah dan kecewa, maka saat itu kau sedang belajar<br />
tentang <b style="color: yellow;">KESUNGGUHAN.</b></div><div class="Mentions_Input" contenteditable="true" id="c4c918f963494f4bb1eb7b_input" style="width: 510px;"><br />
Ketika kau merasa sepi dan sendiri, maka saat itu kau sedang belajar<br />
tentang <b style="color: yellow;">KETANGGUHAN.</b></div><div class="Mentions_Input" contenteditable="true" id="c4c918f963494f4bb1eb7b_input" style="width: 510px;"><br />
Ketika kau tersungkur dan berusaha untuk BANGKIT,<br />
maka saat itu kau sedang belajar tentang <b style="color: yellow;">PERJUANGAN</b><br />
<br />
<div style="color: yellow;"><b></b></div></div><div class="Mentions_Input" contenteditable="true" id="c4c918f963494f4bb1eb7b_input" style="width: 510px;">Ketika kau harus bayar biaya yang sebenarnya tidak perlu kau tanggung,<br />
maka saat itu kau sedang belajar tentang <b style="color: yellow;">KEDERMAWANAN</b><span style="color: yellow;">.</span></div><div class="Mentions_Input" contenteditable="true" id="c4c918f963494f4bb1eb7b_input" style="width: 510px;"><br />
Tetap <b style="color: yellow;">SEMANGAT</b> … Tetap <b style="color: yellow;">SABAR</b> …<br />
Tetap <b style="color: yellow;">TERSENYUM</b> … Terus <b style="color: yellow;">BELAJAR</b> …<br />
</div><div class="Mentions_Input" contenteditable="true" id="c4c918f963494f4bb1eb7b_input" style="width: 510px;">Karena kau sedang <b><span style="color: yellow;">MENIMBA ILMU</span></b> di Universitas Kehidupan …<br />
</div><div class="Mentions_Input" contenteditable="true" id="c4c918f963494f4bb1eb7b_input" style="width: 510px;">Allah menaruhmu ditempatmu sekarang <b style="color: yellow;">BUKAN</b> karena <b style="color: yellow;">KEBETULAN</b> …<br />
<b style="color: yellow;">DIA MENGETAHUI</b> batas kemampuan mu dan <b style="color: yellow;">DIA</b> punya <b style="color: yellow;">MAKSUD</b><br />
yang <b style="color: yellow;">BAIK</b> untuk Hidupmu …<br />
<br />
</div><div class="Mentions_Input" contenteditable="true" id="c4c918f963494f4bb1eb7b_input" style="width: 510px;">dikutip dari Hemat Dwi Nuryanto dengan mengalami penambahan redaksi</div></div></div>Heru_Aja24http://www.blogger.com/profile/16183423922173939972noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4648115796326830398.post-46425683848079802802010-04-13T06:15:00.000-07:002010-04-13T06:15:09.160-07:00MERUMUSKAN VISI, MISI, TUJUAN DAN PROGRAM SEKOLAH<div style="text-align: justify;"><b>A. PENDAHULUAN</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Pendidikan merupakan komponen yang memiliki peran yang strategis bagi bangsa Indonesia dalam mewujudkan tujuan yang telah dirumuskan. Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinia ke empat adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan usaha yang terencana dan terprogram dengan jelas dalam agenda pemerintahan yang berupa penyelenggaraan pendidikan. </div><div style="text-align: justify;">Tujuan pendidikan Negara Indonesia yang tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan diriya, masyarakat, bangsa dan negara. Agar kegiatan pendidikan tersebut terencana dengan baik maka dibutuhkan kurikulum pendidikan.</div><div style="text-align: justify;">Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan yang diberikan tugas untuk mewujdkan tujuan pendidikan nasional harus menjalankan perannya dengan baik. Dalam menjalankan peran sebagai lembaga pendidikan ini, sekolah harus dikelola dengan baik agar dapat mewujudkan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan dengan optimal. Pengelolaan sekolah yang tidak profesional dapat menghambat proses pendidikan yang sedang berlangsung dan dapat menghambat langkah sekolah dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidian formal. </div><div style="text-align: justify;">Agar pengelolaan sekolah tersebut dapat berjalan dengan baik, dibutuhkan renccana strategis sebagai suatu upaya/cara untuk mengendalikan organisasi (sekolah) secara efektif dan efisien, sampai kepada kepada implementasi garis terdepan, sedemikian rupa sehingga tujuan dan sasarannya tercapai. Perencanaan strategis merupakan landasan bagi sekolah dalam menjalankan proses pendidikan. Komponen dalam perencanaan strategis paling tidak terdiri dari visi, misi, tujuan, sasaran dan strategi (cara mencapai tujuan dan sasaran). Perumusan terhadap visi, misi, tujuan, sasaran dan strategi tersebut harus dilakukan pengelola sekolah, agar sekolah memiliki arah kebijakan yang dapat menunjang tercapainya tujuan yang diharapkan.</div><div style="text-align: justify;">Berdasarkan penjelasan diatas, penulis tertarik untuk menulis makalah tentang “merumuskan visi, misi, tujuan dan program sekolah”</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b><br />
</b></div><div style="text-align: justify;"><b>B. PEMBAHASAN</b></div><div style="text-align: justify;"><b>1. Pengertian dan Merumuskan Visi dan Misi</b></div><div style="text-align: justify;"><b>a. Pengertian Visi</b></div><div style="text-align: justify;">Visi merupakan gambaran tentang masa depan (future) yang realistik dan ingin diwujudkan dalam kurun waktu tertentu. Visi adalah pernyataan yang diucapkan atau ditulis hari ini, yang merupakan proses manajemen saat ini yang menjangkau masa yang akan datang (Akdon, 2006:94). </div><div style="text-align: justify;">Hax dan Majluf dalam Akdon (2006:95) menyatakan bahwa visi adalah pernyataan yang merupakan sarana untuk:</div><div style="text-align: justify;">1. Mengkomunikasikan alasan keberadaan organisasi dalam arti tujuan dan tugas pokok.</div><div style="text-align: justify;">2. Memperlihatkan framework hubungan antara organisasi dengan stakeholders (sumber daya manusia organisasi, konsumen/citizen, pihak lain yang terkait).</div><div style="text-align: justify;">3. Menyatakan sasaran utama kinerja organisasi dalam arti pertumbuhan dan perkembangan.</div><div style="text-align: justify;">Pernyataan visi, baik yang tertulis atau diucapkan perlu ditafsirkan dengan baik, tidak mengandung multi makna sehingga dapat menjadi acuan yang mempersatukan semua pihak dalam sebuah organisasi (sekolah).</div><div style="text-align: justify;">Bagi sekolah Visi adalah imajinasi moral yang menggambarkan profil sekolah yang diinginkan di masa datang. Imajinasi ke depan seperti itu akan selalu diwarnai oleh peluang dan tantangan yang diyakini akan terjadi di masa datang. Dalam menentukan visi tersebut, sekolah harus memperhatikan perkembangan dan tantangan masa depan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>b. Merumuskan Visi sekolah</b></div><div style="text-align: justify;">Bagi suatu organisasi visi memiliki peranan yang penting dalam menentukan arah kebijakan dan karakteristik organisasi tersebut. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merumuskan sebuah visi menurut Bryson (2001:213) antara lain:</div><div style="text-align: justify;">1. Visi harus dapat memberikan panduan/arahan dan motivasi.</div><div style="text-align: justify;">2. Visi harus desebarkan di kalangan anggota organisasi (stakeholder)</div><div style="text-align: justify;">3. Visi harus digunakan untuk menyebarluaskan keputusan dan tindakan organisasi yang penting.</div><div style="text-align: justify;">Menurut Akdon (2006:96), terdapaat beberapa kriteri dalam merumuskan visi, antara lain:</div><div style="text-align: justify;">1) Visi bukanlah fakta, tetapi gambaran pandangan ideal masa depan yang ingin diwujudkan.</div><div style="text-align: justify;">2) Visi dapat memberikan arahan, mendorong anggota organisasi untuk menunjukkan kinerja yang baik.</div><div style="text-align: justify;">3) Dapat menimbulkan inspirasi dan siap menghadapi tantangan</div><div style="text-align: justify;">4) Menjembatani masa kini dan masa yang akan datang.</div><div style="text-align: justify;">5) Gambaran yang realistik dan kredibel dengan masa depan yang menarik.</div><div style="text-align: justify;">6) Sifatnya tidak statis dan tidak untuk selamanya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berdasarkan beberapa pendapat diatas, rumusan visi sekoalah yang baik seharusnya memberikan isyarat:</div><div style="text-align: justify;">1) Visi sekolah berorientasi ke masa depan, untuk jangka waktu yang lama.</div><div style="text-align: justify;">2) Menunjukkan keyakinan masa depan yang jauh lebih baik, sesuai dengan norma dan harapan masyarakat.</div><div style="text-align: justify;">3) Visi sekolah harus mencerminkan standar keunggulan dan cita-cita yang ingin dicapai.</div><div style="text-align: justify;">4) Visi sekolah harus mencerminkan dorongan yang kuat akan tumbuhnya inspirasi, semangat dan komitmen bagi stakeholder.</div><div style="text-align: justify;">5) Mampu menjadi dasar dan mendorong terjadinya perubahan dan pengembangan sekolah ke arah yang lebih baik.</div><div style="text-align: justify;">6) Menjadi dasar perumusan misi dan tujuan sekolah.</div><div style="text-align: justify;">7) Dalam merumuskan visi harus disertai indikator pencapaian visi.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>c. Pengertian Misi</b></div><div style="text-align: justify;">Misi adalah pernyataan mengenai hal-hal yang harus dicapai organisasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan di masa datang (Akdon, 2006: 97). Pernyataan misi mencerminkan tentang penjelasan produk atau pelayanan yang ditawarkan. Pernyataan misi harus:</div><div style="text-align: justify;">1. Menunjukkan secara jelas mengenai apa yang hendak dicapai oleh organisasi dan bidang kegiatan utama dari organisasi yang bersangkutan.</div><div style="text-align: justify;">2. Secara eksplisit mengandung apa yang harus dilakukan untuk mencapainya.</div><div style="text-align: justify;">3. Mengundang partisipasi masyarakat luas terhadap perkembangan bidang itama yang digeluti organisasi (Akdon, 2006:98).</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>d. Merumuskan Misi Sekolah</b></div><div style="text-align: justify;">Misi merupakan tindakan atau upaya untuk mewujudkan visi. Jadi misi merupakan penjabaran visi dalam bentuk rumusan tugas, kewajiban, dan rancangan tindakan yang dijadikan arahan untuk mewujudkan visi. Dengan kata lain, misi adalah bentuk layanan untuk memenuhi tuntutan yang dituangkan dalam visi dengan berbagai indikatornya. </div><div style="text-align: justify;">Ada beberapa kriteria dalam pembuatan misi, antara lain:</div><div style="text-align: justify;">1) Penjelasan tentang produk atau pelayanan yang ditawarkan yang sangat diperlukan oleh masyarakat.</div><div style="text-align: justify;">2) Harus jelas memiliki sasaran publik yang akan dilayani.</div><div style="text-align: justify;">3) Kualitas produk dan pelayanan yang ditawarkan memiliki daya saing yang meyakinkan masyarakat.</div><div style="text-align: justify;">4) Penjelasan aspirasi bisinis yang diinginkan pada masa mendatang juga bermanfaat dan keuntungannya bagi masyarakat dengan produk dan pelayanan yang tersedia (Akdon, 2006:99).</div><div style="text-align: justify;">Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merumuskan misi sekolah antara lain:</div><div style="text-align: justify;">1. Pernyataan misi sekolah harus menunjukkan secara jelas mengenai apa yang hendak dicapai oleh sekolah.</div><div style="text-align: justify;">2. Rumusan misi sekolah selalu dalam bentuk kalimat yang menunjukkan “tindakan” dan bukan kalimat yang menunjukkan “keadaan” sebagaimana pada rumusan visi. </div><div style="text-align: justify;">3. Satu indikator visi dapat dirumuskan lebih dari satu rumusan misi. Antara indikator visi dengan rumusan misi harus ada keterkaitan atau terdapat benang merahnya secara jelas.</div><div style="text-align: justify;">4. Misi sekolah menggambarkan tentang produk atau pelayanan yang akan diberikan pada masyarakat (siswa)</div><div style="text-align: justify;">5. Kualitas produk atau layanan yang ditawarkan harus memiliki daya saing yang tinggi, namun disesuaikan dengan kondisi sekolah.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>2. Pengertian dan Merumuskan Tujuan dan Program</b></div><div style="text-align: justify;"><b>a. Tujuan (Goals)</b></div><div style="text-align: justify;">Tujuan merupakan penjabaran dari pernyataan misi, tujuan adalah sesuatu yang akan dicapai atau dihasilkan dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Penetapan tujuan pada umumnya didasarkan pada faktor-faktor kunci keberhasilan yang dilakukan setelah penetapan visi dan misi. Tujuan tidak harus dinyatakan dalam bentuk kuantitatif, akan tetapi harus dapat menunjukkan kondisi yang ingin dicapaidi masa mendatang (Akdon, 2006:143). Tujuan akan mengarahkan perumusan sasaran, kebijaksanaan, program dan kegiatan dalam rangka merealisasikan misi, oleh karena itu tujuan harus dapat menyediakan dasar yang kuat untuk menetapkan indikator.</div><div style="text-align: justify;">Pencapaian tujuan dapat dijadikan indikator untuk menilai kinerja sebuah organisasi. Beberapa kriteria tujuan antara lain:</div><div style="text-align: justify;">1. Tujuan harus serasi dan mengklarifikasikan misi, visi dan nilai-nilai organisasi.</div><div style="text-align: justify;">2. Pencapaian tujuan akan dapat memenuhi atau berkontribusi memenuhi misi, program dan sub program organisasi.</div><div style="text-align: justify;">3. Tujuan cenderung untuk esensial tidak berubah, kecuali terjadi pergeseran lingkungan, atau dalam hal isu strategik hasil yang diinginkan.</div><div style="text-align: justify;">4. Tujuan biasanya secara re;atif berjangka panjang</div><div style="text-align: justify;">5. Tujuan menggambarkan hasil program</div><div style="text-align: justify;">6. Tujuan menggambarkan arahan yang jelas dari organisasi. </div><div style="text-align: justify;">7. Tujuan harus menantang, namun realistik dan dapat dicapai.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>b. Merumuskan Tujuan Sekolah</b></div><div style="text-align: justify;">Tujuan menggambarkan arahan yang jelas bagi sekolah. Perumusan tujuan akan strategi/perlakuan, arah kebijakan dan program suatu sekolah. Oleh karena itu perumusan tujuan harus memberikan ukuran lebih spesifik dan akuntabel. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merumuskan tujuan sekolah, antara lain:</div><div style="text-align: justify;">1) Tujuan sekolah harus memberikan ukuran yang spesifik dan akuntabel (dapat diukur)</div><div style="text-align: justify;">2) Tujuan sekolah merupakan penjabaran dari misi, oleh karena itu tujuan harus selaras dengan visi dan misi.</div><div style="text-align: justify;">3) Tujuan sekolah menyatakan kegiatan khusus apa yang akan diselesaikan dan kapan diselesaikannya? </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>c. Pengertian Program</b></div><div style="text-align: justify;">Program merupakan implementasi dari visi, misi dan tujuan. Program yang dimaksudkan dalam makalah ini adalah program operasional. Program operasional didefinisikan sebagai kumpulan kegiatan yang dihimpun dalam satu kelompok yang sama secara sendiri-sndiri atau bersama-sama untuk mencapai tujuan dan sasaran (Kdon, 2006:135). Program merupakan kumpulan kegiatan nyata, sistematis dan terpadu, dilaksanakan oleh satu instansi pemerintah atau lebih ataupun dalam rangka kerja sama dengan masyarakat atau yang merupakan partisipasi aktif masyarakat guna mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.</div><div style="text-align: justify;">Wujud nyata sebuah organisasi adalah adanya program operasional yang akan dilaksanakan dalam bentuk kegiatan. Beberapa ciri-ciri program operasional adalah:</div><div style="text-align: justify;">1) Program kerja operasional didasarkan atas perumusan visi, misi, tujuan, sasaran dan kebijakan yang telah ditetapkan.</div><div style="text-align: justify;">2) Program kerja operasional pada dasarnya merupakan upaya untuk implementasi strategi organisasi.</div><div style="text-align: justify;">3) Program kerja operasional merupakan proses penentuan jumlah dan jenis sumber daya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan satu rencana.</div><div style="text-align: justify;">4) Program operasional merupakan penjabaran riil tentang langkah-langkah yang diambil untuk menjabarkan kebijakan.</div><div style="text-align: justify;">5) Program operasional dapat bersifat jangka panjang dan menengah, atau bersifat tahunan.</div><div style="text-align: justify;">6) Program kerja operasional tidak terlepas dari kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b><br />
</b></div><div style="text-align: justify;"><b>d. Merumuskan Program Kerja Sekolah</b></div><div style="text-align: justify;">Perumusan program kerja sekolah berdasarkan atas perumusan visi, misi, tujuan, sasaran, strategi dan kebijakan yang telah ditetapkan. Dalam merumuskan program kerja sekolah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:</div><div style="text-align: justify;">1) Program kerja sekolah merupakan implemantasi dari tujuan dan strategi sekolah, jadi dalam merumuskannya harus seirama dengan tujuan dan strategi yang telah ditetapkan.</div><div style="text-align: justify;">2) Dalam merumuskan program sekolah harus ditentukan siapa yang akan menjadi penanggungjawab masing-masing program kerja sekolah dan kapan langkah tersebut selesai.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">3. Peran visi, misi, tujuan dan program dalam menyusun perencanaan strategis sekolah</div><div style="text-align: justify;">Perencanaan strategis adalah proses yang dilakukan suatu organisasi untuk menentukan strategi atau arahan, serta mengambil keputusan untuk mengalokasikan sumber dayanya (termasuk modal dan sumber daya manusia) untuk mencapai tujuan dari organisasi tersebut (Amrullah, 2010:4)</div><div style="text-align: justify;">Akdon (2006:302) menyatakan bahwa, lengkah langkah perencanaan strategis terdiri dari:</div><div style="text-align: justify;">a. Perumusan visi, misi dan nilai-nilai</div><div style="text-align: justify;">b. Telaah lingkungan strategik, yang terdiri dari analisis lingkungan internal, analisis lingkungan eksternal. </div><div style="text-align: justify;">c. Analisis strategik dan kunci keberhasilan.</div><div style="text-align: justify;">d. Rencana Strategis yang terdiri dari merumuskan tujuan, sasaran, strategi, kebijakan, program, kegiata suatu organisasi</div><div style="text-align: justify;">Langkah-langkah tersebut dapat dilihat dalam bagan berikut:</div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhgRAgJclnxA7eto3Fcmm8nHnyD4UAPJ3HR7snn0-H6-7xr7UyNvLBNAnPVbmWGA0dayq3j-r-GdryaJtlOF_npHxj24u0iXtythgEucMYCozZENUi50sUGq6J9H4EATP2JUK9M9MW7S6s/s1600/Graphic2.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhgRAgJclnxA7eto3Fcmm8nHnyD4UAPJ3HR7snn0-H6-7xr7UyNvLBNAnPVbmWGA0dayq3j-r-GdryaJtlOF_npHxj24u0iXtythgEucMYCozZENUi50sUGq6J9H4EATP2JUK9M9MW7S6s/s320/Graphic2.jpg" width="218" /></a></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: center;">Gambar: Bagan Kerangka Perencanaan Strategis</div><div style="text-align: center;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Berdasarkan bagan diatas, dapat kita ketahui peran visi, misi, tujuan dan program dalam merumuskan perencanaan strategis, antara lain:</div><div style="text-align: justify;">a. Visi dan misi merupakan landasan awal dalam merumuskan perencanaan strategis. Visi memberikan merupakan imajinasi/gambaran masa depan suatu organisasi, dia berperan sebagai pemberi arahan dan motivasi anggota organisasi. Misi adalah penjabaran dari visi yang memberikan produk/pelayanan kepada publik. Misi berperan untuk mengenalkan para anggota organisasi terhadap peran dan fungsi mereka.</div><div style="text-align: justify;">b. Tujuan merupakan penjabaran dari pernyataan misi, tujuan adalah sesuatu yang akan dicapai atau dihasilkan dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Dalam perencanaan strategis, rumusan tujuan akan mengarahkan perumusan sasaran, strategi, program dan kegiatan dalam merealisasikan misi. </div><div style="text-align: justify;">Program merupakan kumpulan kegiatan nyata, sistematis dan terpadu, dilaksanakan oleh satu instansi pemerintah atau lebih ataupun dalam rangka kerja sama dengan masyarakat atau yang merupakan partisipasi aktif masyarakat guna mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Dalam perencanaan strategis, program berfungsi untuk menjalankan kebijakan strategis yang akan dilakukan dalam bentuk kegiatan-kegiatan nyata.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>C. PENUTUP</b></div><div style="text-align: justify;"><b>1. Kesimpulan</b></div><div style="text-align: justify;">Dari pemamparan yang telah disampaikan diatas dapat disimpulkan:</div><div style="text-align: justify;">a. Dalam mewujudkan sekolah yang memiliki kualitas yang baik perlu direncanakan dan dilakukan rekayasa. Dalam hal ini sekolah perlu merumuskan visi, misi, tujuan dan program sekolah yang terintegrasi dalam perencanaan strategis sekolah. Dalam merumuskan visi, misi, tujuan dan program tersebut harus menjawab tentang pertanyaan:</div><div style="text-align: justify;">1) Bagaimana gambaran sekolah yang ingin diwujudkan di masa yang akan datang?</div><div style="text-align: justify;">2) Produk/layanan apa yang akan diberikan dalam rangka mewujudkan misi?</div><div style="text-align: justify;">3) Bagaimana kondisi yang akan diwujudkan sekolah di masa yang akan datang?</div><div style="text-align: justify;">4) Langkah-langkah apa saja yang akan dilakukan dalam mewujudkan kondisi sekolah di masa yang akan datang?</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">b. Perencanaan strategis merupakan panduan bagi sekolah dalam menjalankan proses pendidikan dalam tingkat satuan pendidikan masing-masing. Perumusan visi, misi, tujuan dan program sekolah yang berkualitas akan menentukan gambaran masa depan sekolah yang di inginkan, karena visi, misi, tujuan dan program yang terintegrasi dalam perencanaan strategis inilah yang akan menjadi acuan sekolah dalam melakukan aktivitasnya sebagai lembaga pendidikan. </div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><b>2. Saran</b></div><div style="text-align: justify;">Untuk mewujudkan sekolah yang berkualitas, harus diawali dengan perencanaan strategis yang berkualitas. Rumusan visi, misi, tujuan dan program yang merupakan bagian dari perencanaan strategis harus berkualitas. Oleh karena itu perumusan ini hendaknya diketahui dan dipahami oleh segenap stakeholder sekolah, agar mereka dapat mengetahui fungsi, peran dan tugas yang harus dilakukan.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: center;"><b>DAFTAR PUSTAKA</b></div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Amrullah. 2010. Perencanaan strategis. Makalah disampaikan pada perkuliahan Teknologi Pendidikan UNSRI.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Akdon. 2006. Strategic Managemen for Educational Management. Bandung: Alfabeta.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div><div style="text-align: justify;">Bryson, John M. 2001.Perencanaan Strategis bagi Organisasi sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.</div><div style="text-align: justify;"><br />
</div>Heru_Aja24http://www.blogger.com/profile/16183423922173939972noreply@blogger.com94tag:blogger.com,1999:blog-4648115796326830398.post-20136424819292138942010-04-08T20:18:00.000-07:002010-04-08T20:25:31.986-07:00STUDI KOMPERASI SISTEM PENDIDIKAN NEGARA INDONESIA DAN NEGARA SINGAPURA DITINJAU DARI JENJANG PENDIDIKAN<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixR6qqu5KY50MNTy5cL-wYNmyB6VoSXx5FhrKvMCWRW_YBun7yjJVqVHUMbuQbcZmGG51Tf3T1RyyARl302IYPSDXCGjMiMunltN32Njpcc_9MpSjJDyn3SulpfJ6C_Oi7Sd3krzRTSFg/s1600/padu.jpg"><img style="display: block; margin: 0px auto 10px; text-align: center; cursor: pointer; width: 320px; height: 114px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixR6qqu5KY50MNTy5cL-wYNmyB6VoSXx5FhrKvMCWRW_YBun7yjJVqVHUMbuQbcZmGG51Tf3T1RyyARl302IYPSDXCGjMiMunltN32Njpcc_9MpSjJDyn3SulpfJ6C_Oi7Sd3krzRTSFg/s320/padu.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5457973588977447890" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;"><b>A. PENDAHULUAN</b></div><div style="text-align: justify;"><b><br /></b></div><div style="text-align: justify;">Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat signifikan dalam sebuah kehidupan berbangsa. Pendidikan merupakan media strategis dalam memacu kualitas sumber daya manusia. Hal ini telah menjadikan pendidikan bagian terpenting untuk keberlangsungan, perkembangan dan kemajuan suatu negara. </div><div style="text-align: justify;">Dengan melihat peran pendidikan yang sangat strategis ini, sudah menjadi keharusan bagi masyarakat pada khususnya dan negara pada umumnya untuk menjadikannya sebagai “agenda besar” negara agar keberlangsungan, perkembangan dan kemajuan negara ini dapat terjamin.</div><div style="text-align: justify;">Jika kita melihat realita yang ada, terdapat kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan implementasi dari pendidikan itu sendiri. Posisi Indonesia menduduki peringkat 10 dari 14 negara berkembang di kawasan Asia Pasifik. Peringkat ini dilansir dari laporan monitoring global yang dikeluarkan lembaga PBB, Unesco. Penelitian terhadap kualitas pendidikan dasar ini dilakukan oleh Asian South Pacific Beurau of Adult Education (ASPBAE) dan Global Campaign for Education. Studi dilakukan di 14 negara pada bulan Maret-Juni 2005. Rangking pertama diduduki Thailand, kemudian disusul Malaysia, Sri Langka, Filipina, Cina, Vietnam, Bangladesh, Kamboja, India, Indonesia, Nepal, Papua Nugini, Kep. Solomon, dan Pakistan. Indonesia mendapat nilai 42 dari 100 dan memiliki rata-rata E. Untuk aspek penyediaan pendidikan dasar lengkap, Indonesia mendapat nilai C dan menduduki peringkat ke 7. Pada aspek aksi negara, RI memperoleh huruf mutu F pada peringkat ke 11. Sedangkan aspek kualitas input/pengajar, RI diberi nilai E dan menduduki peringkat ke 14 (terakhir). (http://t4belajar.wordpress.com).</div><div style="text-align: justify;">Ini adalah obat pahit yang harus ditelan bangsa ini, agar dapat menjadi refleksi terhadap potret pendidikan bangsa ini. Namun ini bukanlah harga mati bagi bangsa ini karena masih banyak peluang untuk meningkatkan kualitas pendidikan bangsa ini, jika bangsa ini mau belajar dengan bangsa lain yang telah mengalami kamajuan dalam bidang pendidikan.</div><div style="text-align: justify;">Singapura merupakan salah satu negara yang telah memiliki kemajuan dalam bidang pendidikan. Hasil survey Times Higher Education-QS World University Rankings 2009 (http://translate.google.co.id ) yang menyatakan beberapa Universitas di Singapura ke dalam 200 Universitas terbaik di dunia. Universitas itu adalah National University of Singapor (peringkat 30) dan Nanyang Technological University (peringkat 73). Untuk kawasan Asia Tenggara, hanya Negara Singapura yang termasuk dalam 200 universitas terbaik dunia.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><b><br /></b></div><div style="text-align: justify;"><b>B. PEMBAHASAN</b></div><div style="text-align: justify;"><b>1. Pendidikan Sebagai suatu Sistem</b></div><div style="text-align: justify;">McAhsan dalam Pidarta (1997:25) mendefinisikan sistem seebagai strategi yang menyeluruh atau rancanadikomposisi olehsatu set elemen, yang harmonis, merepresentasikan suatu unit, masing-masing elemen mempunyai tujuan sendiri yang semuanya berkaitan terurut dalam bentuk yang logis. Sementara itu Sanjaya (2009:2) mendifinisikan sistem sebagai satu kesatuan komponen yang satu sama lain saling berhubungan untuk mencapai tujuan tertentu. Dari penjelasan diatas akan kita dapati beberapa ciri-ciri dari sistem antara lain:</div><div style="text-align: justify;">• Sistem Memiliki Tujuan Tertentu</div><div style="text-align: justify;">• Sistem memiliki fungsi-fungsi tertentu</div><div style="text-align: justify;">• Sistem memiliki komponen-komponen tertentu.</div><div style="text-align: justify;">Pendidikan merupakan suatu sistem yang telah memiliki tujuan, fungsi dan komponen. Tujuan Pendidikan Nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Sementara itu, fungsi Pendidikan adalah agar terciptanya Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Komponen-komponen pendidikan antara lain; guru, peserta didik, kurikulum, infrastruktur dan lain-lain.</div><div style="text-align: justify;">Sebagai suatu sistem, Pendidikan memiliki sub sistem untuk menunjang berjalannya sistem tersebut. Salah satu sub sistem Pendidikan adalah Jenjang pendidikan (Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi).</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><b>2. Landasan Psikologis dalam Penjenjangan Pendidikan</b></div><div style="text-align: justify;">Dunia pendidikan tidak dapat terlepas dari teori psikologi. Ini dikarenakan yang menjadi objek pendidikan adalah peserta didik (Pidarta, 1997:6) yang memiliki karakteristik dan pembawaan yang berbeda-beda. Para pakar psikologi telah banyak memberikan kontribusi terhadap dunia pendidikan melalui konsep-konsep ataupun teori-teorinya.</div><div style="text-align: justify;">Beberapa konsep Psikologi yang telah memberikan kontribusinya adalah konsep Jean Peaget dan Erickson (Pidarta, 1997:186) yang membahas psikologi perkembangan yang memakai pendekatan pentahapan yang bersifat khusus.</div><div style="text-align: justify;"><b>a. Konsep Jean Peaget.</b></div><div style="text-align: justify;">Konsep Jean PEaget yang menekankan tingkat-tingkat perkembangan khusus yaitu kognisi. Menurut Peaget ada empat tingkatan perkembangan kognisi</div><div style="text-align: justify;">• Periode sensori motor pada umur 0 sampai 2 tahun</div><div style="text-align: justify;">Kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak refleks. Reaksi intelektual hampir seluruhnya karena rangsangan langsung dari alat-alat indra. Punya kebiasaan memukul-mukul dan bermain –main dengan permainannya. Mulai dapat menyebutkan nama-nama objek tertentu.</div><div style="text-align: justify;">• Periode pra operasional pada umur 2 sampai 7 tahun</div><div style="text-align: justify;">Perkembangan bahasa anak ini sangat pesat. Peranan intuisi dalam memutuskan sesuatu masih besar, menyimpulkan hanya berdasarkan sebagian kecil yang diketahui. Analisis rasional belum berjalan.</div><div style="text-align: justify;">• Periode operasi konkrit pada umur 7 – 11 tahun.</div><div style="text-align: justify;">Mereka sudah bisa berfikir logis, sistematis dan memecahkan masalah yang bersifat konkrit. Mereka sudah mampu mengerjakan penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian.</div><div style="text-align: justify;">• Periode operasi formal pada umur 11 sampai 15</div><div style="text-align: justify;">Anak-anak ini sudah dapat berfikir logis terhadap masalah, baik yang konkrit maupun abstrak. Dapat membentuk ide-ide dan masa depannya secara realistis.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><b>b. Konsep Erickson</b></div><div style="text-align: justify;">Dalam aspek afeksi, Erickson mencoba menyusun perkembangannya. Perkembangan afeksi terdiri atas delapan tahap sebagai berikut:</div><div style="text-align: justify;">• Bersahabat versus menolak pada umur 1 tahun</div><div style="text-align: justify;">Bayi yang diasuh dengan kasih sayang dan kebutuhan-kebutuhan terpenuhi akan merasa bersahabat dengan orang-orang disekitarnya. Sebaliknya bila dia disia-siakan dan kebutuhannya tak terpenugi, maka ia akan menentang lingkungannya. Perasaan seperti ini akan dibawa ke tingkat-tingkat perkembangan berikutnya.</div><div style="text-align: justify;">• Otonomi versus malu dan ragu-ragu pada umur 1 samapai 3 tahun</div><div style="text-align: justify;">Anak merasa memiliki otonomi dan kebanggaan, sebab ia sudah bisa berjalan memanjat, membuka mendorong dan sebagainya. Ia merasa dapat mengendalikan otot-otot nya, mengendalikan diri dan lingkungannya, tetapi bila orang tua terlalu memanjakan, timbul malu-malu dan keragu-raguan anak itu tentang kemampuannya. Dan hal ini pun akan berpengaruh pada tingkatan perkembangan berikutnya. </div><div style="text-align: justify;">• Inisiatif versus perasaan bersalah pada umur 3 sampai 5 tahun</div><div style="text-align: justify;">Anak-anak pada masa ini banyak berinisiatif manakala diberi kesempatan oleh orang tuanya, sebab mereka sudah punya kemampuan lebih besar, seperti lari, naik sepeda roda tga, memukul, memotong dan sebagainya. Begitu pula dalam berbahasa dan berfantasi mereka berinisisatif sendiri. Orang tua perlu memberi kesempatan kebebasan dan menjawab segala pertanyaannya. Kalau mereka tidak diberlakukan seperti itu, mereka akan merasa guilted (bersalah)</div><div style="text-align: justify;">• Perasaan produktif versus rendah diri pada umur enam sampai 11 tahun.</div><div style="text-align: justify;">Anak-anak ini cinta pada orang tua yang berlawanan jenis dan ada rasa persaingan dengan yang sama jenis kelamin. Mereka sudah bisa berfikir deduktif, bermain dengan peraturan-peraturannya, dan terdorong untuk mengerjakan sesuatu sampai berwujud nyata. Jika mereka dihargai dan diberi hadiah membuat peran produktif berkembang. Tetapi anak-anak yang bodoh cenderung punya perasaan rendah diri.</div><div style="text-align: justify;">• Identitas diri versus kebingungan pada umur 12 sampai 18 tahun.</div><div style="text-align: justify;">Para remaja ini sudah mulai dapat mengidentifikasi dirinya berdasarkan pengalaman-pengalaman yang lampau. Ia sudah mengerti sebagai remaja, sebagai teman sekolah, sebagai anggota pramuka dan sebagainya. Perasaan dan keinginan-keinginan baru mulai tumbuh. Mereka juga sudah bisa berfikir jernih tentang hal-hal disekelilingnya.</div><div style="text-align: justify;">• Intim versus mengisolasi diri pada umur 19 sampai 25 tahun.</div><div style="text-align: justify;">Orang-orang ini sudah bisa intim dalam suami istri dan mampu berbagi rasa pada orang lain. Keberhasilan ini tidak hanya bergantung pada perlakuan orang tua, melainkan juga pada temannya yang akan diajak bergaul. Dan bila tidak berhasil, ia akan mengisolasi diri.</div><div style="text-align: justify;">• Generasi versus kesenangan pribadi pada umur 25 sampai 45 tahun.</div><div style="text-align: justify;">Orang tua atau orang seumur ini sudah mulai memikirkan generasi muda, masyarakat dan dunia tempat generasi ini tinggal. Mereka memikirkan pendidikan, kesejahteraan, dan pekerjaan generasi ini. Bila tidak orang tua ini hanya mengejar kesenangan pribadi saja.</div><div style="text-align: justify;">• Integritas versus putus asa pada umur 45 tahun keatas.</div><div style="text-align: justify;">Integritas muncul kalau orang tua ini dapat membawa diri secara memuaskan dalam pergaulan anak cucunya. Bila tidak maka orang ini akan berputus asa.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Konsep-konsep psikologi diatas murapakan bagian kecil dari kontribusi ilmu psikologi yang telah diberikan pada dunia pendidikan sebagai landasan untuk menentukan jenjang pendidikan, sehingga tujuan pendidikan yang diharapkan dapat tercapai dengan optimal</div><div style="text-align: justify;"><b><br /></b></div><div style="text-align: justify;"><b><br /></b></div><div style="text-align: justify;"><b>3. Perbandingan Jenjang Pendidikan Negara Singapura dan Indonesia</b></div><div style="text-align: justify;">Jenjang Pendidikan di singapura antara lain:</div><div style="text-align: justify;">• Pendidikan Pra Sekolah </div><div style="text-align: justify;">Pendidikan pra sekolah adalah pendidikan yang dilakukan untuk anak-anak berusia 3 sampai dengan 6 tahun</div><div style="text-align: justify;">• Pendidikan Dasar</div><div style="text-align: justify;">Seorang anak di Singapura menjalani pendidikan dasar selama 6 tahun, terdiri dari empat tahun tahap dasar pertama yaitu Sekolah Dasar kelas 1 sampai 4 dan tahap orientasi tahun ke dua yaitu Sekolah Dasar kelas 5 sampai 6. Pada akhir kelas 6 SD, siswa mengikuti Ujian Kelulusan Sekolah Dasar (Primary School Leaving Examination).</div><div style="text-align: justify;">• Pendidikan Menegah</div><div style="text-align: justify;">Para siswa melaksanakan pendidikan lanjutan selama 4 atau 5 tahun melalui program spesial, cepat ataupun normal. Program spesial dan cepat mempersiapkan siswa untuk mengikuti ujian GCE 'O' (Singapore-Cambridge General Certificate of Education 'Ordinary') pada tingkat empat. Siswa pada program normal dapat memilih jurusan akademik atau teknik, yang keduanya mempersiapkan siswa untuk mengikuti ujian GCE 'N' (Singapore-Cambridge General Certificate of Education 'Normal') pada tingkat empat dan jika hasilnya memuaskan, maka siswa akan mengikuti ujian GCE 'O' pada tingkat lima.</div><div style="text-align: justify;">• Pendidikan Pra Perguruan Tinggi</div><div style="text-align: justify;">Setelah menyelesaikan ujian tingkat GCE 'O', para siswa diperbolehkan mendaftar untuk mengikuti program akademi selama dua tahun masa pelajaran pada pra-universitas atau institut terpadu selama tiga tahun masa pelajaran pada pra-universitas, yang keduanya merupakan dasar untuk masuk ke universitas. Kurikulum terdiri dari dua mata kuliah wajib, yaitu General Paper dan Mother Tongue, dan maksimum empat subyek Singapore-Cambridge General Certificate of Education 'Advanced' (GCE 'A') dari tingkat seni, ilmu pengetahuan dan pelajaran tentang perniagaan. Di akhir masa pelajaran pada pra universitas siswa mengikuti ujian tingkat GCE 'A'.</div><div style="text-align: justify;">• Pendidikan Tinggi </div><div style="text-align: justify;">Pendidikan Tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. </div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><b>4. Jenjang Pendidikan di Indonesia</b></div><div style="text-align: justify;">Berdasarkan Undang-undang Pendidikan Nasional tahun 2003. Jalur, jenjang dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. Adapun jenjang pendidikan tersebut antara lain:</div><div style="text-align: justify;">• Pendidikan Anak Usia Dini</div><div style="text-align: justify;">Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Pada PAUD ini dapat diselenggarakan melalui jalur formal, non formal dan/atau inforamal. Pendidikan anak usia dini pada jalur formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan non formal berbentuk kelompok bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">• Pendidikan Dasar</div><div style="text-align: justify;">Pendidikan Dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan MAdrasah Ibtidayah (MI) atau bentuk yang sederajatserta Sekolah MEnengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Akhir kelas enam siswa harus mengikuti Ujian Nasional sebagai syarat untuk mengikuti SMP/MTs.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">• Pendidikan Menengah</div><div style="text-align: justify;">Pendidikan menegah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menegah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">• Pendidikan Tinggi</div><div style="text-align: justify;">Pendidikan Tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. </div><div style="text-align: justify;">Terdapat beberapa perbedaan antara jenjang pendidikan Negara Indonesia dan Singapura, antara lain:</div><div style="text-align: justify;">a. Pendidikan Dasar</div><div style="text-align: justify;">Pada pendidikan Dasar ini, Pendidikan Dasar singapura hanya 6 tahun. sementara itu, Pendidikan Dasar di indonesia membutuhkan waktu 9 tahun, dengan rincian 6 tahun SD dan 3 tahun SMP</div><div style="text-align: justify;">b. Jenjang Pendidikan Menengah</div><div style="text-align: justify;">Pada jenjang ini Pendidikan di Singapura membutuhkan waktu 4 tahun dan 5 tahun, semenara itu pendidikan menengah di Indonesia hanya 3 tahun. Pada jenjang ini, pendidikan di Singapura mengklasifikasikan kemampuan siswa menjadi Express, Normal Academic dan Normal Technical. Sementara itu pendidikan menengah di Indonesia tidak melakukan sistem tersebut. Akan tetapi hanya melakukan program akselerasi pada sekolah-sekolah tertentu.</div><div style="text-align: justify;">c. Pendidikan Pra Universitas/Junior College</div><div style="text-align: justify;">Pada jenjang ini peserta didik dipersiapkan untuk memasuki jenjang perguruan universitas ataupun pendidikan kejuruan atau yang sejenisnya. Sementara itu di Indonesia tidak terdapat jenjang pra Universitas/Junior College</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><b><br /></b></div><div style="text-align: justify;"><b>C. PENUTUP</b></div><div style="text-align: justify;"><b>Kesimpulan</b></div><div style="text-align: justify;">Dalam rangka menentukan jenjang pendidikan harus mengacu pada psikologi peserta didik yang akan di didik. Hal ini dimaksudkan agar output yang diharapkan dapat tercapai dengan maksimal.</div><div style="text-align: justify;">Penjenjangan pada Negara singapura patut dijadikan sebagai referensi bagi negara kita, mengingat Negara singapura telah mengalami kemajuan dalam segi pendidikan. Beberapa hal yang patut dicontoh adalah:</div><div style="text-align: justify;">1. Jenjang Pendidikan Menengah</div><div style="text-align: justify;">Pada jenjang ini Pendidikan di Singapura membutuhkan waktu 4 tahun dan 5 tahun, semenara itu pendidikan menengah di Indonesia hanya 3 tahun. Pada jenjang ini, pendidikan di Singapura mengklasifikasikan kemampuan siswa menjadi Express, Normal Academic dan Normal Technical. </div><div style="text-align: justify;">2. Pendidikan Pra Universitas/Junior College</div><div style="text-align: justify;">Pada jenjang ini peserta didik dipersiapkan untuk memasuki jenjang perguruan universitas ataupun pendidikan kejuruan atau yang sejenisnya. Sementara itu di Indonesia tidak terdapat jenjang pra Universitas/Junior College</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: center;"><b>DAFTAR PUSTAKA</b></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Pidarta, Made. 1997. Landasan Pendidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">Sanjaya, Wina. 2009. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Bandung. Kencana.</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">http://cetak.kompas.com/read/xml/200...ersi.singapura</div><div style="text-align: justify;">http://t4belajar.wordpress.com/2009/04/24/pendidikan-indonesia-ranking-109-malaysia-61/</div><div style="text-align: justify;">http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://en.wikipedia.org/wiki/Education_in_Singapore</div><div style="text-align: justify;"><br /></div><div style="text-align: justify;">http://www.hupelita.com/baca.php?id=66886 </div>Heru_Aja24http://www.blogger.com/profile/16183423922173939972noreply@blogger.com13tag:blogger.com,1999:blog-4648115796326830398.post-5952101563157929162009-12-27T07:51:00.000-08:002009-12-27T08:02:49.085-08:00SEKOLAH MENENGAH PERTAMA TERBUKA APLIKASI TEKNOLOGI PENDIDIKAN DALAM PEMERATAAN PENDIDIKAN<div style="text-align: justify;">A. PENDAHULUAN<br />1. Latar Belakang<br />Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (UU Sisdiknas RI No 20 tahun 2003). Dari pengertian ini dapat kita lihat bahwa begitu pentingnya pendidikan ini bagi masyarakat yang merupakan bagian dari Negara dan sebaliknya. Sekolah merupakan lembaga yang disediakan Negara untuk mewujudkan upaya tersebut, agar tujuan untuk mencerdaskan anak bangsa bisa tercapai.<br />Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, misalnya melalui pembangunan gedung sekolah baru, peningkatan daya tampung pada sekolah-sekolah yang telah ada, penambahan fasilitas belajar, pengadaan dan pengangkatan tenaga guru, pemberian beasiswa, dan lain-lain. Namun upaya itu ternyata belum dapat mengatasi masalah pemerataan pendidikan secara tuntas. Masih banyak warga masyarakat yang belum dapat terjangkau oleh layanan pendidikan, terutama sebagian masyarakat yang memiliki berbagai macam kendala tertentu. Pembangunan gedung sekolah baru yang dilakukan setiap tahun misalnya, belum dapat menjangkau kelompok masyarakat ekonomi lemah yang tinggal di daerah-daerah terpencil. Bagi masyarakat yang memiliki kendala ekonomi, waktu dan geografis masih sulit untuk memperoleh layanan pendidikan melalui jalur pendidikan reguler/konvensional. Padahal sebagai sesama anak bangsa, mereka memiliki hak yang sama dengan anak-anak lain yang lebih beruntung memperoleh pendidikan, sebagaimana dijamin oleh pasal 31 Undang-undang Dasar 1945. Dalam wilayah negara Indonesia yang luas dengan karakteristik geografis dan demografis yang begitu beragam, sangat sulit memberikan layanan pendidikan yang dapat menjangkau seluruh masyarakat terutama anak-anak yang memiliki berbagai kendala ekonomi, geografis dan waktu. Bahkan sekalipun di lokasi-lokasi seperti itu dibangun sekolah reguler, belum tentu kelompok anak yang memiliki kendala tersebut sempat mengikuti pendidikan karena kesibukannya bekerja membantu orang tua mencari nafkah. Bagi kelompok anak seperti ini, pergi ke sekolah setiap hari dengan segala konsekwensinya , merupakan kegiatan yang dianggap terlalu mahal. Anak-anak tersebut berada di luar jangkauan pendidikan konvensional. Oleh karena itu, perlu adanya alternatif program pendidikan non-konvensional untuk dapat menjangkau mereka.<br />Sistem pendidikan terbuka dan sistem pendidikan jarak jauh dapat dijadikan alternatif untuk memberikan layanan pendidikan bagi kelompok anak yang memiliki kendala semacam itu. Untuk pendidikan tingkat SMP, salah satu bentuk pendidikan terbuka yang telah dilaksanakan saat ini adalah Sekolah Menengah Pertama Terbuka (SMP Terbuka). Miarso (2006:242) menyatakan bahwa SMP terbuka ditinjau dari struktural kelembagaan sekolah merupakan pendidikan kompensatorik, yaitu pengganti yang statusnya paralel dengan lembaga yang ada, bukan pelengkap (komplementer) ataupun penembah (suplementer).<br />SMP Terbuka sebagai suatu sub-sistem yang direncanakan pada 1976 adalah salah satu bentuk pendidikan terbuka, yang merupakan aplikasi teknologi pendidikan. Sistem itu dirancang untuk dapat mengatasi masalah belajar khususnya bagi mereka yang karena berbagai macam kendala tidak memperoleh kesempatan untuk belajar yang lazim, sementara mereka mempunyai potensi untuk belajar, dan masih ada sumber belajar lain yang belum dimanfaatkan (Miarso, 2006:239). Berbagai macam bentuk pendidikan terbuka antara lain Pendidikan Jarak Jauh, Pendidikan Mandiri, Pendidikan Bermedia, Pendidikan Terkemas, Pendidikan Arah-diri (self directed education), Pendidikan Bebas, Pendidikan Laju-diri (self paced education), Pendidikan Korespondensi, dan berbagai istilah lain lagi.<br />Berdasarkan penjelasan diatas, penulis tertarik untuk membahas tentang “Sekolah Menengah Pertama Terbuka, Aplikasi Teknologi Pendidikan dalam Pemerataan Pendidikan.”<br /><br />2. Rumusan Masalah<br />Berdasarkan uraian diatas, maka dalam hal ini penulis akan merumuskan masalah pada makalah ini sebagai berikut:<br />a. Apakah landasan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Terbuka?<br />b. Bagaimanakah peran SMP terbuka dalam pemerataan pendidikan?<br /><br /><br /><br />B. PEMBAHASAN<br />1. Teknologi Pendidikan dan Pemeratan Pendidikan<br />Januszewski (2008:1) menyatakan bahwa: Educational technology is the study and ethical practice of facilitating learning and improving performance by creating, using, and managing appropriate technological processes and resources. (Teknologi pendidikan adalah studi dan etika praktek untuk memfasilitasi pembelajaran dan meningkatkan kinerja melalui penciptaan, penggunaan, dan pengaturan proses dan sumber daya teknologi). Sementara itu, Miarso (2006:240) menyatakan “Teknologi Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses kompleks dan terpadu yang melibatkan orang, gagasan, prosedur, peralatan dan organisasi untuk mengatasi masalah belajar manusia. Bersdasarkan pendapat diatas dapat kita simpulkan Teknologi Pendidikan adalah studi dan etika prektek yang melibatkan orang, gagasan, prosedur, peralatan dan organisasi untuk memfasilitasi pembelajaran dan meningkatkan kinerja melalui penciptaan, penggunaan, dan pengaturan proses dan sumber daya teknologi dalam rangka untuk memecahkan masalah belajar manusia.<br />Salah satu masalah belajar yang dimiliki manusia khususnya rakyat Indonesia adalah tidak seluruh anak bangsa ini dapat mengenyam pendidikan sebagaimana yang telah dicanagkan pemerintah yaitu wajib belajar 9 tahun. Pemerataan pendidikan menjadi tugas yang besar bagai dunia pendidikan dalam rangka untuk mewujudkan tujuan bangsa Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Miarso (2006:241) mendefinisikan Pemerataan pendidikan sebagai:<br />a. Kesempatan untuk bersekolah yang merata, atau lazim disebut dengan istilah pendidikan semesta (universal education)<br />b. Pemerataan mutu pendidikan, atau berarti menghilangkan kesen-jangan mutu karena faktor sosial-ekonomis dan geografis<br />c. Pemerataan kemungkinan memperoleh pendidikan dengan memberikan perlakuan yang berbeda termasuk subsidi atau beasiswa kepada mereka yang tidak mampu, meliputi pula untuk mereka yang menyandang kelainan<br />d. Pemerataan hasil perolehan pendidikan, yang berarti para lulus-annya mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh penghasilan yang setaraf.<br />Dari pengertian pemerataan pendidikan diatas dapat kita ketahui bahwa pemerataan pendidikan tidak hanya terbatas hanya pada memberikan hak pendidikan seluruh warga Negara, namun pemerataan pendidikan juga terkait dengan mutu pendidikan, perlakuan yang berbeda karena perbedaan latar belakang, dan pemerataan hasil perolehan pendidikan sehingga memiliki kesempatan bersaing yang sama tanpa tebang pilih. Untuk mengembangkan gagasan pemerataan tersebut dibutuhkan strategi/cara dengan berpegangan pada prinsip teknologi pendidikan, yaitu :<br />a. Memadukan berbagai macam pendekatan dari bidang psikologi, komunikasi, manajemen, rekayasa, dan lain-lain.<br />b. Memecahkan masalah secara menyeluruh dan bersistem. Menyeluruh berarti tidak bersifat tambal sulam, dan mem-perhatikan semua aspek. Bersistem berarti dilakukannya analisis terlebih dahulu, kemudian dirancang, diproduksi, disajikan, digunakan, dinilai, diperbaiki, dan disebarkan.<br />c. Mengkaji semua kondisi dan saling kaitan di antaranya, dan menggunakan teknologi sebagai proses dan produk untuk membantu memecahkan masalah.<br />d. Mengusahakan adanya nilai tambah/daya lipat atau efek sinergi, dimana penggabungan pendekatan dan/atau unsur-unsur mempunyai nilai lebih dari sekedar penjumlahan. Demikian pula dengan pemecahan masalah secara menyeluruh dan serempak akan mempunyai nilai lebih daripada memecahkan masalah secara terpisah. (Miarso, 2006:242)<br />Dari penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa Teknologi Pendidikan memiliki peran untuk memecahkan masalah pendidikan dalam Pemerataan Pendidikan.<br /><br /><br />2. Pengertian, Tujuan dan Ciri-ciri Sekolah Menengah Pertama (SMP) Terbuka<br />SMP Terbuka adalah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama yang dirancang khusus untuk melayani para siswa pada usia 12-17 tahun yang tidak dapat mengikuti pelajaran seperti biasa pada SMP reguler, karena alasan ekonomi, transportasi, kondisi geografis, atau kendala waktu untuk membantu orang tua bekerja, jenis pekerjaan dalam membantu orang tua yang mereka lakukan pada umumnya sesuai dengan kadar kemampuan menurut perkembangan mereka masing-masing di antaranya adalah membantu orang tua berkebun, bekerja di sawah, ladang, warung, menjajakan koran, menyemir sepatu, yang hasilnya mereka gunakan untuk menambah keuangan keluarga atau ditabung sendiri. Berbagai ragam kendala tersebut merupakan fenomena dan gambaran secara nyata dari kebanyakan siswa di SMP Terbuka yang sebenarnya tetap berkeinginan untuk belajar hingga meraih jenjang pendidikan yang lebih tinggi.<br />Tujuan dari sistem SMP Terbuka adalah sebagai salah satu upaya atau subsistem pendidikan pada jenjang SLTP untuk membantu lulusan SD dan MI yang karena faktor social, ekonomis, geografis, waktu dan lain-lain tidak dapat melanjutkan pendidikan pada jenjang SLTP. Tujuan Institional SMP Terbuka adalah:<br />• Memberikan bekal kamampuan dasar yang merupakan perluasan serta peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh di SD yang bermanfaat bagi siswa untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat dan warga Negara sesuai dengan tingkat perkembangannya.<br />• Mempersiapkan siswa untuk hidup dalam masyarakat dan atau mengikuti pendidikan penengah (Kepmen Dikbud no. 054/U/1993 tentang SLTP)<br />Sekalolah Menegah Pertama terbuka yang merupakan sub-sistems sekolah memiliki cirri-ciri/karakter antara lain:<br />• siswanya lebih banyak belajar mandiri;<br />• gurunya berbagi peran dengan orang (narasumber) lain, baik yangada di sekitar lingkungan siswa, maupun yang terpisah jauh;<br />• sumber belajarnya bervariasi, dengan bentuk utama bahan yang dikemas untuk belajar mandiri ;<br />• mempertimbangkan kondisi dan karakteristik siswa dalam penyelenggaraan belajarpembelajaran<br />• kegiatan belajar-pembelajar-an tidak terjadwal pada tempat dan waktu yang ketat, dan<br />• meman-faatkan lingkungan tempat tinggal anak-didik sebagai sumber belajar.<br /><br />3. Landasan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Terbuka<br />Pada makalah ini penulis akan memaparkan landasan hukum, landasan filsafat dan landasan teori dan konsepsi Sekolah Menengah Pertama Terbuka.<br />• Landasan Hukum SMP Terbuka<br />Penyelenggaraan SMP Terbuka yang mulai dirintis pada tahun ajaran 1979/1980 merupakan perwujudan dari salah satu amanat Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal tersebut dipertegas lagi dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; ayat (2) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang selanjutnya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pada Bab II Pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dengan diberlakukannya Wajar 9 tahun oleh pemerintah, tujuan pendidikan SMP pun diharapkan dapat dicapai secara utuh sebagaimana mestinya, yaitu: memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah<br /><br />• Landasan Filsafat SMP Terbuka<br />Jika membahas tentang landasan filsafat suatu objek paling sedikit perlu dipertanyakan beberapa hal, yaitu: apa hakikat gejala/objek itu (landasan ontologi), bagaiamana (asal, cara, struktur dan sebagainya) penggarapan gejala/objek tersebut (landasan epistimologi), dan apa manfaat gejala/objek tersebut (landasan Aksiologi).<br />Pertimbangan ontologi<br />Gejala pendidikan yang perlu digarap secara khusus yang merupakan landasan ontologi SMP Terbuka adalah:<br />a. Adanya anak-anak lulusan SD usia 12-17 tahun yang belum memperoleh perhatian yang cukup tentang kebutuhannya dan kondisinya<br />b. Adanya anak-anak yang belum memperoleh kesempatan memperoleh pendidikan pada jenjang sekolah menengah pertama<br />c. Belum tersedianya dan termanfaatkannya sumber-sumber belajar baru berupa: orang (misalnya penulis buku ajar, dan pembuat media pembelajaran), isi pesan (yang tertulis dalam buku/tersaji dalam media dan sebagainya), bahan (misalnya buku dan perangkat lunak televisi), alat (pesawat radio, televisi dan sebagainya), cara-cara tertentu dalam memanfaatkan orang, pesan, bahan dan alat, serta lingkungan tempat proses belajar itu berlangsung.<br />d. Belum dilakukannya kegiatan yang bersistem dalam mengembangkan sumbersumber belajar itu yang bertolak dari landasan teori-teori belajar dan pembelajaran serta hasil penelitian.<br />b. Masih adanya kemungkinan dibentuknya lembaga dan pola pengelolaan kegiatan belajar-pembelajaran baru tanpa mengubah/mengintervensi lembaga yang sudah ada. (Miarso, 2006:240)<br /><br />Pertimbangan epistimologi<br />Secara legal keberadaan SMPT berasal dari kebijakan pemerintah untuk memperluas kesempatan belajar. Pada tahun 1976 diidentifikasikan empat alternatif untuk perluasan kesempatan itu, yaitu : l) pembangunan gedung sekolah baru; 2) penambahan daya tampung sekolah yang sudah ada (memperbesar rasio murid guru); 3) mendirikan sekolah terbuka; dan 4) menyelenggarakan pendidikan ketrampilan. Setelah diuji kelayakannya berdasarkan kriteria waktu, tenaga, biaya dan organisasi akhirnya dipilih alternatif sekolah terbuka. Secara konseptual adanya SMPT adalah untuk membuktikan bahwa konsep belajar mandiri dengan bimbingan yang minimal dari guru dilaksanakan dengan dikembangkannya sumber belajar yang sengaja dirancang untuk keperluan itu. Ditinjau dari struktur kelembagaan sekolah, SMPT bukan merupakan pendidikan komplementer atau suplementer, melainkan merupakan pendidikan kompensatorik. Pendidikan komplementer adalah yang melengkapi pendidikan sekolah yang ada, seperti misalnya kursus komputer/kursus mengetik, dll, yang merupakan program ko dan ekstra kurikuler. Pendidikan suplementer adalah penambahan atas lembaga yang ada misalnya dengan mengadakan kelas jauh/bimbingan belajar, dsb. Sedangkan pendidikan kompensatorik adalah pengganti yang statusnya paralel dengan lembaga yang ada.<br />Berdasarkan penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa cara untuk menerapkan SMPT adalah:<br />a. Berawal dari kebijakan pemerintah yaitu, memperluas kesempatan belajar.<br />b. Menggunakan konsep belajar mandiri, dengan bimbingan yang minimal membuktikan bahwa konsep belajar mandiri dengan bimbingan yang minimal dari guru dilaksanakan dengan dikembangkannya sumber belajar yang sengaja dirancang untuk keperluan itu.<br />c. Dalam penerapannya SMP Terbuka berinduk kepada SMP regular yang ada, dengan rapor dari sekolah induk, dan ijazahnya pun sama, dengan perlakuan yang berbeda. Ini dikarenakan SMP Terbuka secara struktur kelembagaan sekolah bukan sebagai pelengkap (komplementer) ataupun penambahan (suplemen), akan tetapi sebagai kompensatorik, yaitupengganti yang statusnya paralel dengan lembaga yang ada<br /><br /><br /><br />Pertimbangan Aksiologi<br />Manfaat bagi siswa: memungkinkan bagi peserta didik untuk melanjutkan ke pendidikan lanjut sesuai dengan kondisi mereka. Siswa dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari untuk membantu perekonomian keluarga dan juga dapat belajar di sela-sela kesibukan mereka dengan bantuan media ajar (modul, kaset pembelajaran dan lain sebagainya).<br />Manfaat bagi oran tua dan masyarakat: kegiatan social ekonomi tidak terganggu, biaya dapat ditekan serendah mungkin, dihargainya anggota masyarakat yang mampu bertindak sebagai narasumber, meningkatnya taraf pendidikan dasar yang diperlukan dalam menghadapi pembangunan dan perkembangan zaman, dikembangkannya sumber belajar baru yang berarti membuka kesempatan dimanfaatkannya sarana yang belum belum terpakai dan kemungkinan penambahan lapangan kerja baru.<br />Manfaat bagi pemerintah: Dapat mewujudkan program wajib belajar 9 tahun, tidak diperlukan biaya yang besar untuk pembangunan sekolah dan pengangkatan guru baru, meningkatnya partisipasi dan kepedulian masyarakat terhadap pendidikan sehingga lebih memperingan tanggung jawab pemerintah.<br /><br />• Landasan Teori dan Konsepsi<br />SMPT juga didasarkan pada sejumlah teori dan konsepsi tertentu. Dalam makalah ini hanya dikemukakan landasan satu kerangka teori serta konsepsi pola pembelajaran menurut Miarso (2006:243).<br />Kerangka Teori. Kerangka teori. Yang menjadi landasan sistem SMPT adalah teori pembelajaran yang bersifat preskriptif, artinya teori yang memberi "resep" untuk mengatasi masalah. Kerangka teori ini mengandung tiga variabel yaitu : kondisi, perlakuan, dan hasil. Kerangka teori pembelajaran itu dapat digambarkan sebagai berikut :<br /><br /><br />Kondisi Pembelajaran Karakteristik Pelajaran Karekteristik Siswa<br /> Tujuan Hambatan <br /><br /><br />Perlakuan Pembelajaran Pengorganisasian<br />Bahan ajar Strategi Penyampaian Pengelolaan kegiatan<br /><br /><br />Hasil Pembelajran Efektivitas, efisiensi, dan daya tarik pembelajaran<br /><br />Gambar. Kerangka Teori Pembelajaran<br />(diadaptasi dari Reigeluth, 1983, h. 19)<br /><br />Kerangka teori tersebut dapat dijelaskan: Karakteristik siswa meliputi pola kehidupan sehari-hari, keadaan social ekonomi, kemampuan membaca, dsb. Karakteristik pelajaran meliputi tujuan apa yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut, dan apa hambatan untuk pencapaian itu. Misalnya saja pelajaran bahasa Inggris yang meliputi kemampuan mengucapkan dengan benar, tidak mungkin dapat diajarkan hanya dengan media cetak saja. Pengorganisasi bahan pelajaran (yang menjadi tujuan utama pertemuan ini), meliputi antara lain bagaimana merancang bahan untuk keperluan belajar mandiri. Strategi penyampaian meliputi pertimbangan penggunaan media apa untuk menyajikan apa/bagaimana cara menyajikannya, siapa dan/atau apa yang akan menyajikan, dsb. Sedang pengelolaan kegiatan meliputi keputusan untuk mengembangkan dan mengelola serta kapan dan bagaimana digunakannya bahan pelajaran dan strategi penyajiannya.<br />Apabila kerangka teori itu dipetakan, maka akan terdapat gambaran sebagai tertera sebagai berikut :<br />KONDISI PERLAKUAN HASIL<br />Sama Sama Sama<br />Sama Berbeda Berbeda<br />Berbeda Sama Berbeda<br />Berbeda Berbeda Mungkin sama<br />Berdasarkan pemetaan kerangka teori tersebut dapat dikatakan bahwa bila kepada sejumlah anak yang kondisinya sama dan diberikan perlakuan sama, maka hasilnya cenderung sama. Bilamana perlakuan-nya berbeda maka hasilnya cenderung berbeda. Sedangkan apabila kondisi anak-anak itu berbeda dan diberikan perlakuan yang sama hasilnya akan berbeda. Namun bila kepada mereka itu diberikan per-lakuan yang berbeda, maka hasilnya mungkin sama. Pilihan alternatif terakhir ini yang merupakan dasar diselenggarakannya SMPT, yaitu kepada anak yang berbeda (menyandang hambatan) diberikan perla-kuan berbeda (belajar terbuka dan mandiri), agar dapat diperoleh hasil belajar yang sama/sepadan dengan teman-temannya yang kondisinya lebih baik di sekolah regular.<br />Dalam pembuatan bahan pelajaran SMP Terbuka, perlu memperhatikan beberapa teori pembelajaran untuk menjadi landasan teorinya. Seperti teori Pristiwa Pembelajaran (Gagne). Gagne (dalam miarso, 2006:245) berpendapat bahwa belajar itu merupakan seperangkat proses yang bersifat internal bagi setiap pribadi (hasil) yang merupakan hasil transformasi rangsangan yang berasal dari peristiwa eksternal di lingkungan pribadi yang bersangkutan (kondisi). Agar kondisi eksternal itu lebih bermakna sebaiknya diorganisasikan dalam urutan peristiwa pembelajaran (metode/ perlakuan). Peristiwa pembelajaran (instructional events) adalah peristiwa dengan urutan sebagai berikut :<br />a. menarik perhatian agar siap menerima pelajaran<br />b. memberitahukan tujuan pelajaran agar anak-didik tahu apa yang diharapkan dalam belajar itu<br />c. merangsang timbulnya ingatan atas ajaran sebelumnya<br />d. presentasi bahan ajaran<br />e. memberikan bimbingan atau pedoman untuk belajar<br />f. membangkitkan timbulnya unjuk kerja (merespon)<br />g. memberikan umpan balik atas unjuk kerja<br />h. menilai unjuk kerja<br />i. memperkuat retensi dan transfer pelajaran.<br /><br />Pola Pembelajaran. Pola pembelajaran pada SMPT dapat dibe-dakan dengan pola instruksioanl sekolah regular seperti pada tiga gambar pada halaman berikut.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar. Pola Pembelajaran (diadaptasi dari Heinich)<br /><br />Pola tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Pola pengelolaan pembelajaran yang merupakan adaptasi dari Heinich (1970 : 146). Dalam sekolah regular, pembelajaran yang terjadi terutama pola # 1 dan # 2, Sedangkan pada SMPT menggunakan pola # 3, # 4, dan # 5, yaitu masing-masing : media yang sengaja dirancang (by design) digunakan oleh guru; berbagi peranan dengan media, dan media yang digunakan oleh siswa.<br />Berdasarkan penjelasan landasan SMP Terbuka diatas, maka landasan hukum, landasan filsafat dan landasan teori dan konsep merupakan landasan utama dari SMP Terbuka. Landasan hukum berupa kebijakan-kebijakan pemerintah, dalam hal ini adalah wajib belajar 9 tahun. Landasan filsaat berupa landasan ontologi, epistimologi dan aksiologi. Landasan teori dan konsep berupa landasan yang mendasari pengelola SMP Terbuka untuk menerapkan metode pembelajaran dan pengembangan bahan ajar untuk peserta SMP Terbuka (proses pembelajarn)<br /><br />4. Peran SMP terbuka dalam pemerataan pendidikan<br />Pemerataan pendidikan tidak hanya terbatas pada memberikan hak pendidikan seluruh warga Negara, namun pemerataan pendidikan juga terkait dengan mutu pendidikan, perlakuan yang berbeda karena perbedaan latar belakang, dan pemerataan hasil perolehan pendidikan sehingga memiliki kesempatan bersaing yang sama tanpa tebang pilih.<br />SMP Terbuka telah membuka celah terhadap hal-hal tersebut. Disamping SMP terbuka telah memberikan kesempatan yang banyak bagi anak bangsa ini yang memiliki masalah dalam belajar (faktor ekonomi, geografis, umur dan lain sebagainya) dengan jumlah siswa pada tahun ajaran 2002/2003 sebanyak 232.395 orang (http://pelangi.dit-plp.go.id).<br />Dari segi mutu, SMP terbuka telah memberikan kontribusi terhadap pemerataan pendidikan. Ini dibuktikan pada UAN tahun siswa SMP Terbuka 30, Jakarta Utara mencapai rata-rata 16,65 untuk 3 mata pelajaran (bahasa indonesia, bahasa inggris, dan matematika), dimana posisi ini ada diatas atau lebih tinggi di bandingkan dengan SMP Negeri 140 (16,19), SMP Negeri 261 (16,19), SMP Negeri 282 (15,64), SMP Negeri 112 (15,58), SMP Negeri 113 (15,31), SMP Negeri 23 (15,31), SMP Negeri 270 (15,11), dan SMP Negeri 120 (14,79), dan bila dibandingkan dengan SMP Swasta. Dari 66 siswa SMP Terbuka yang mengikuti UAN hanya ada 2 orang (3%) yang nilai UAN tak memenuhi syarat minimal kelulusan. Nilai tertinggi pada siswa SMP Terbuka 30 dicapai oleh siswa bernama Listiawaty dengan nilai UAN, Bahasa Indonesia, 8,00 Bahasa Inggris 9,17 dan Matematika 8,00 (http://pelangi.dit-plp.go.id).<br />Dengan Perlakuan yang berbeda dari SMP Reguler (berupa konsep belajar mandiri dan pemberian ketrampilan), SMP Terbuka telah memberikan keterampilan-keterampilan baru pada para peserta didik. Sebagai contoh (http://pelangi.dit-plp.go.id) SMP Terbuka jalan Cagak Subang, yang memilih keterampilan otomotif dan tahap awal menghasilkan onderdil motor yang menghasilkan nilai jual tinggi dan diakui kualitasnya, SMP Terbuka Metro menghasilkan berbagai kerajinan dari rotan termasuk sangkar burung yang sempat mempesona Bapak Presiden pada pameran yang diadakan dalam rangka peringatan Hari Pendidikan Nasional di Lebak Bulus Jakarta baru-baru ini. Begitu pula anyaman akar wangi dan enceng gondok karya siswa SMP Terbuka Buaran Pekalongan mampu menembus pasaran di hotel-hotel berbintang. Pembuatan sapu dari tangkai bunga tebu karya siswa SMP Terbuka Kandangserang Pekalongan, waktu pameran di Plaza Depdiknas langsung diserbu konsumen dan langsung ludes habis. Nasib serupa dialami pembuatan sandal jepit berlogo karya siswa SMP Terbuka Kapetakan, Kab. Cirebon, laris menerima pesanan pengunjung untuk keluarganya.<br />Dengan keterampilan tersebut telah memberikan bekal kapada alumnus SMP Terbuka untuk mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan negara.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />C. PENUTUP<br />Berdasarkan Penjelasan yang telah penulis paparkan dalam makalah ini, maka dapat disimpulkan:<br />1. Berdasarkan penjelasan diatas, maka landasan hukum, landasan filsafat dan landasan teori dan konsep merupakan landasan utama dari SMP Terbuka. Landasan hukum berupa kebijakan-kebijakan pemerintah, dalam hal ini adalah wajib belajar 9 tahun. Landasan filsaat berupa landasan ontologi, epistimologi dan aksiologi. Landasan teori dan konsep berupa landasan yang mendasari pengelola SMP Terbuka untuk menerapkan metode pembelajaran dan pengembangan bahan ajar untuk peserta SMP Terbuka (proses pembelajaran)<br />2. SMP Terbuka yang merupakan aplikasi Teknologi Pendidikan dalam upaya pemeratan pendidikan telah memberikan peran yang signifikan dalam upaya pemeratan pendidikan itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan berbagai prestasi yang di ukir oleh siswa SMP Terbuka, seperti SMP Terbuka 30 Jakarta Utara dan SMP Terbuka Metro.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /><br /><br /><br />Januszewski, Alan and Molenda Michael. 2008. Educational Technology: A Definition with Commentary. Lawrence Erlbaum Associates: New York<br /><br />Miarso, Yusufhadi. 2009. Menyemai BEnih Teknologi Pendidikan. Kencana Predana Media Group: Jakarta<br /><br />Seels, Barbara B. and Richey Rita C. 1994. Teknologi Pembelajaran; Definisi dan Kawasannya. Unit Penerbitan Universitas Negeri Jakarta: Jakarta<br /><br />http://aristorahadi.wordpress.com<br /><br />http://pelangi.dit-plp.go.id<br /><br />http://tarmizi.wordpress.com<br /><br />http://yusufhadi.net<br /><br /><br /><br /><br /><br /></div>Heru_Aja24http://www.blogger.com/profile/16183423922173939972noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4648115796326830398.post-25825889295627950942009-12-25T02:35:00.000-08:002009-12-25T02:45:21.111-08:00ILMU DAN KEBUDAYAAN<div style="text-align: justify;">A. Pendahuluan<br />Dalam kamus besar Bahasa Indonesia ilmu memiliki arti pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu. Menurut Suriasumantri (2001:3). Ilmu merupakan salah satu buah pemikirian manusia dalam menjawab pertanyaan. Sementara itu, Paul Freedman dalam The Principles of Scientific Research mendefinisikan ilmu sebagai bentuk aktivitas manusia yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh suatu pengetahuan dan senantiasa lebih lengkap dan cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta suatu kemampuan untuk menyesuaikan dirinya dan mengubah lingkungannya serta mengubah sifat-sifatnya sendiri (http://scribd.com/doc/ /FILSAFATILMU.pdf).<br />Dari pengertian ilmu diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa ilmu adalah seperangakat pengetahuan yang merupakan buah pemikiran manusia yang memiliki metode tertentu yang berguna untuk umat manusia agar manusia dapat senantiasa eksis dalam kehidupannya.<br />Ilmu yang menjadi alat bagi manusia agar dapat menyesuaikan diri dan merubah lingkungan, memiliki kaitan erat dengan kebudayaan. Talcot Parsons (Suriasumantri, 1990:272) menyatakan bahwa “Ilmu dan kebudayaan saling mendukung satu sama lain: dalam beberapa tipe masyarakat ilmu dapat berkembang dengan pesat, demikian pula sebaliknya, masyarakat tersebut tak dapat berfungsi dengan wajar tanpa di dukung perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapan”. Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan salling mempengaruhi. Pada satu pihak perkembangan ilmu dalam suatu masyarakat tergantung dari kondisi kebudayaan. Sedangkan di pihak lain, pengembangan ilmu akan mempengrauhi jalannya kebudayaan.<br />Berdasarkan uraian diatas berikut ini akan dibahas tentang “Ilmu dan Kebudayaan”. Yang menjadi Rumusan Masalah dalam makalah ini adalah bagaimana hubungan antara ilmu dan pengembangan kebudayaan Nasional? Dan bagaimanakah pola kebudayaan Nasional terhadap Ilmu?<br /><br /><br />B. Definisi Kebudayaan<br />Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia (http://m.www.yahoo.com/).<br />Pengertian budaya menurut para ilmuan antara lain (http://exalute.wordpress.com)<br />1. Edward B. Taylor<br />Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adapt istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.<br /><br />2. M. Jacobs dan B.J. Stern<br />Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi social, ideologi, religi, dan kesenian serta benda, yang kesemuanya merupakan warisan social.<br /><br />3. Koentjaraningrat<br />Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan relajar.<br />4. Dr. K. Kupper<br />Kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan pengarah bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu maupun kelompok.<br /><br />5. William H. Haviland<br />Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di tarima ole semua masyarakat.<br /><br />6. Ki Hajar Dewantara<br />Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.<br /><br />7. Francis Merill<br />a. Pola-pola perilaku yang di hasilkan oleh interaksi social<br />b. Semua perilaku dan semua produk yang dihasilkan oleh sesorang sebagai anggota suatu masyarakat yang di temukan melalui interaksi simbolis.<br /><br />8. Bounded et.al<br />Kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk oleh pengembangan dan transmisi dari kepercayaan manusia melalui simbol-simbol tertentu, misalnya simbol bahasa sebagai rangkaian simbol yang digunakan untuk mengalihkan keyakinan budaya di antara para anggota suatu masyarakat.<br />Dari berbagai definisi di atas, dapat diperoleh kesimpulan mengenai kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide gagasan yang terdapat di dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi social, religi seni dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.<br /><br />C. Manusia dan Kebudayaan<br />E.B. Taylor pada tahun 1891, lebih dari seratus tahun yang lalu dalam bukunya Primitive Culture, dimana kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyaraakat. Sementara Kuntjaraningrat (1974) secara lebih terperinci membagi kebudayaan menjadi unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemsyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencarian serta sistem teknologi dan peralatan. Menurut Ashley Montagu kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar hidupnya (Suriasumantri, 1990:261).<br />Maslow mengidentifikasikan lima kelompok kebutuhan manusia, yakni kebutuhan fisiologi, rasa aman, afiliasi dan pengembangan potensi (Natawijawa, 2007:60). Binatang kebutuhannya terpusat pada dua kelompok pertama dari kategori Maslow yakni kebutuhan fisiologis dan rasa aman serta memenuhi kebutuhan ini secara instingtif. Sedangkan menusia tidak mempunyai kemampuan berindak secara otomatis yang berdasarkan insting tersebut dan oleh sebab itu dia berpaling kepada kebudayaan yang mengajarkan cara hidup. Manusia yang merupakan makhluk sosial tidak bias terlepas dari budaya, karena dengan kebudayaan inilah mereka dapat mengembangkan dirinya.<br /><br />D. Kebudayaan dan Pendidikan<br />Allport, Vernon dan Lindzey (1951) mengidentifikasikan enam nilai dasar dalam kebudayaan yakni, nilai teori, ekonomi, estetika, sosial, politik dan agama (Suriasumantri, 1990:263). Dalam rangka untuk menentukan nilai-nilai budaya apa saja yang akan diterapkan dibutuhkan pendidikan pada para pelaku budaya, yaitu manusia (masyarakat)<br />Berdasarkan penggolongan tersebut diatas, maka masalah pertama yang dihadapi oleh pendidikan ialah menetapkan nilai-nilai budaya apa saja yang harus dikembangkan dalam diri anak kita.<br />Untuk menentukan nilai-nilai mana yang patut mendapat perhatian kita sekarang ini maka pertama sekali kita harus dapat memperkirakn skenario dari masyarakat kita dimasa yang akan datang. Skenario masyarakat Indonesia di masa yang akan datng tersebut memperhatikan indikator dan perkembangan yang sekarang ada, cenderung untuk mempunyai karakteristik-karakteristik seperti berikut:<br />a. Memperhatikan tujuan dan strategi pembangunan nasional kita, maka masyarakat Indonesia akan beralih dari masyarakat tradisional yang plural agraris menjadi masyarakat modern yang urban dan bersifat industry.<br />b. Pengembangan kebudayaan kita ditujukan kearah perwujudan peradaban yang bersifat khas berdasarkan filsafat dan pandangan hidup bangsa Indonesia yakni Pancasila<br /><br /><br />E. Ilmu dan Pengembangan Kebudayaan Nasional Indonesia<br />Talcot Parsons (Suriasumantri, 1990:272) menyatakan bahwa “Ilmu dan kebudayaan saling mendukung satu sama lain: dalam beberapa tipe masyarakat ilmu dapat berkembang dengan pesat, demikian pula sebaliknya, masyarakat tersebut tak dapat berfungsi dengan wajar tanpa di dukung perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapan”. Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi. Pada satu pihak perkembangan ilmu dalam suatu masyarakat tergantung dari kondisi kebudayaan. Sedangkan di pihak lain, pengembangan ilmu akan mempengrauhi jalannya kebudayaan.<br />Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan. Kebudayaan nasional merupakan kebudayaan yang mencerminkan aspirasi dan cita-cita suatu bangsa yang diwujudkan dengan kehidupan bernegara.<br />Dalam kerangka pengembangan kebudayaan nasional ilmu mempunyai peranan ganda (Suriasumantri, 1990:272)<br />a. Ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung terselenggaranya pengembangan kebudayaan nasional.<br />b. Ilmu merupakan sumber nilai yang meengisi pembentukan watak suatu bangsa.<br />Dalam perkembangan zaman yang begitu cepat, terkadang ilmu dikaitkan dengan teknologi. Kebudayaan kita tak terlepas dari teknologi. Namun sayangnya yang memiliki pengaruh yang dominan pada kebudayaan adalah teknologi, padahal teknologi adalah buah/produk kegiatan ilmiah. Sedangkan ilmu sendiri yang merupakan sumber nilai yang konstruktif memiliki ruang yang sempit dalam pengembangan kebudayaan nasional. Maka dari itu, pemahaman terhadap hakikat ilmu perlu dijadikan fokus pembicaraan dalam rangka untuk mengembangkan kebudayaan nasional, setelah itu baru dibahas mengenai langkah-langkah apa yang akan ditempuh untuk meningkatkan peranan keilmuan dalam pengembangan kebudayaan nasional.<br />a. Ilmu sebagai suatu cara berpikir<br />Ilmu merupakan suatu cara berpikir dalam menghasilkan sesuatu kesimpulan yang berupa pengethuan yang dapat diandalkan. Berpikir bukan satu-satunya cara dalam mendapatkan pengetahuan, demikian juga ilmu bukan satu-satunya produk dari kegiatan berpikir. Ilmu merupakan produk dari hasil proses berpikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum dapat disebut sebagai berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah merupakan proses berpikir/ pengembangan pikiran yang tersusun secara sistematis yang berdasarkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang sudah ada.<br />b. Ilmu sebagai asas moral<br />Dari awal perkembangan ilmu selalu dikaitkan dengan masalah moral. Copernicus (1473-1543) yang menyatakan bumi berputar mengelilingi matahari, yang kemudian diperkuat oleh Galileo (1564-1642) yang menyatakan bumi bukan merupakan pusat tata surya yang akhirnya harus berakhir di pengadilan inkuisisi. Kondisi ini selama 2 abad mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa. Moral reasioning adalah proses dimana tingkah laku manusia, institusi atau kebijakan dinilai apakah sesuai atau menyalahi standar moral. Kriterianya: Logis, bukti nyata yang digunakan untuk mendukung penilaian haruslah tepat, konsisten dengan lainnya (http://scribd.com.FilsafatIlmu_dan_MetodeRiset)<br />Dua karakteristik yang merupakan asas moral bagi ilmuan antara lain (Suriasumantri, 1990:274):<br />i. Meninggikan kebenaraan<br />Ilmu merupakan kegiatan berpikir untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, atau secara lebih sederhana, ilmu bertujuan untuk mendapatkan kebenaran. Kriteria kebenaran ini pada hakikatnya bersifat otonom dan terbebas dari struktur kekuasaan diluar bidang keilmuan. Ini artinya, untuk mendapatkan suatu pernyataan benas atau salah seorang ilmuan harus terbebas dari intervensi pihak lain diluar bidang keilmuan<br />ii. Pengabdian secara universal<br />Seorang ilmuan tidak mengabdi pada golongan tertentu, penguasa, partai politik ataupun yang lainnya. Akan tetapi seorang ilmuan harus mengabdi untuk kepentingan khalayak ramai.<br />Dari karakteristik ilmuan diatas, dapat kita ketahui bahwa ilmu yang merupakan kegiatan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar haruslah terlepas dari pengaruh asing diluar bidang keilmuan dan harus memiliki manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat luas bukan golongan tertentu.<br /><br />c. Nilai-nilai ilmiah dan pengembagnan kebudayaan nasional<br />Nilai yang terpancar dari hakikat keilmuan yakni, kritis, rasional, logis, obyektif, terbuka, menjunjung kebenaran dan pengabdian universal (Suriasumantri, 1990:275).<br />Pada hakikatnya, perkembangan kebudayaan nasional adalah perubahan dari kebudayaan yang sekarang bersifat konvensional kearah situasi kebudayaan yang lebih mencerminkan asprasi dan tujuan nasional. Proses perkembangan kebudayaan ini pada dasarnya adalah penafsiran kemabli nilai-nilai konvensional agar lebih sesuai dengan tuntutan zaman serta penumbuhan nilai-nilai bru yang fungsional. Untuk terlaksananya proses dalam pengembangan kebudayaan nasional tersebut maka diperlukan sifat kritis, rasional, logis, obyektif, terbuka, menjunjung kebenaran dan pengabdian universal.<br />d. Kearah peningkatan peranan keilmuan<br />Berdasarkan pada penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa ilmu memiliki peran dalam mendukung perkembangan kebudayaan nasional. Diperlukan langkah-langkah yang sistemik dan sistematik untuk meningkatkan peranan dan kegiatan keilmuan dalam peerkembangan kebudayaan nasional yang pada dasarnya mengandung beberapa pemikiran sebagaimana tercakup di bawah ini (Suriasumantri, 1990:278)., antara lain:<br />i. Ilmu merupakan bagian dari kebudayaan dan oleh sebab itu langkah-langkah ke arah peningkatan peranan dan kegiatan keilmuan harus memperhatikan situasi kebudayaan masyarakat kita.<br />ii. Ilmu merupakan salah satu cara menemukan kebenaran, disamping itu masih terdapat cara-cara lain yang sah sesuai dengan lingkup pendekatan dan permasalahannya masing-masing. Pendewaan terhadap akal sebagai satu-satunya sumber kebenaran harus dihindarkan.<br />iii. Meninggikan integritas ilmuan dan lembaga. Dalam hal ini modus operandinya adalah melaksanakan dengan konsekuen kaidah moral dari keilmuan.<br />iv. Pendidikan keilmuan harus sekaligus dikaitkan denga pendidikan moral<br />v. Pengembangan bidang keilmuan harus disertai dengan pengembangan dalam bidang filsafat terutama yang menyangkut keilmuan<br />vi. Kegiatan ilmiah haruslah bersifat otonom yang terbebas dari kekangan struktur kekuasaan. Namun ini bukan berarti kegiatan keilmuan harus bebas dari sistem kehidupan. Seorang ilmuan tidak akan terlepas dari kehidupan sosial, ideology dan agama, walaupun tidak mengikat namun seorang ilmuan harus memperhatikan norma-norma yang berlaku pada masing daerah.<br /><br /><br />F. Pola Kebudayaan Nasional terhadap Ilmu<br />Ilmuan-Pengarang terkenal CP. Snow dalam bukunya yang sangat provokatif The Two Culture mengingatkan Negara-negara barat akan adanya dua pola kebudayaan dalam tubuh mereka yakni masyarakat ilmuan dan non ilmuan yang menghambat kemajuan di bidang ilmu dan teknologi. Analogi ini dapat diterapkan pula di Negara kita, akan lebih jauh lagi dimana dalam bidang keilmuan itu sendiri di Negara kita telah mengalami polarisasi dan membentuk kebudayaan sendiri. Polarisasi ini didasarkan kepada kecenderungan beberapa kalangan tertentu untuk memisahkan ilmu kedalam dua golongan yakni ilum-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial (Suriasumantri, 1990:275).<br />Memang tidak dapat dielak bahwa terdapat perbedaan antara ilmu alam dan ilmu sosial, namun perbedaan ini bersifat teknis yang tidak mengarah kepada perbedaan yang fundamental. Dasar ontologi, epistimologi dan aksiologi kedua ilmu tersebut sama, metode yang dipergunakan untuk mendapatkan ilmu tersebut juga menggunakan metode ilmiah yang sama.<br />Namaun secara teknis dapat kita lihat bahwa ilmu-ilmu alam mempelajari dunia fisik yang relatif tetap dan pasti dibandingkan dengan ilmu-ilmu sosial yang menjadaikan mansuia sebagai objek penelaahan. Manusia memiliki satu karakteristik yang unik yang membedakan dia dengan wujud yang lain. Manusia mempunyai kemampuan untuk belajar, dan dengan faktor inilah dia mampu mengembangkan kebudayaan dari waktu ke waktu. Perbedaan variasi karakter ini tidak hanya dari segi waktu saja namun perbedaan daerah juga menyebabkan perbedaan kebudayaan.<br />Namun dengan perbedaan ini tidak menjadi jurang pemisah antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena tujuan dari ilmu adalah mencari penjelasan dari gejala-gejala yang kita temukan yang memungkinkan kita mengetahui sepenuhnya hakikat objek yang kita hadapi (Suriasumantri, 1990:282). Hal ini berlaku bagi ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial.<br />Adanya dua kebudayaan yang terbagi kedalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial ini masih terdapat di Indonesia. Hal ini dicerminkan dengan adanya jurusan Pasti-Alam dan Sosial-Budaya dalam sistem pendidikan kita. Jika kita menginginkan kemajuan dalam bidang keilmuan yang mencakup baik ilmu-ilmu sisial dan ilmu-ilmu alamm, maka dualisme kebudayaan ini harus dibongkar. Adanya pembagian jurusan ini merupakan hambatan psikologis dan intelektual bagi pengembangan keilmuan di negara kita. Sudah menjadi rahasia umum bahwa jurusan pasti (alam) dianggap lebih mempunyai prestise dibandingkan dengan jurusan sosial. Hal ini akan menyebabkan mereka mempunyai minat dan bakat di bidang ilmu-ilmu sosial akan terbujuk memilih jurusan ilmu-ilmu alam karena alas an sosial-psikologis. Di pihak lain mereka yang terkotak dalam jurusan sosial-budaya dalam proses pendidikannya kurang mendapatkan bimbingan yang cukup tentang pengetahuan matematikanya untuk menjadi ilmuan yang handal di bidangnya.<br />Suatu usaha yang fundamental dan sistematis dalam menghadapi masalah ini perlu diusahakan. Adanya dua pola kebudayaan dalam bidang keilmuan kita, bukan saja merupakan sesuatu yang regresif melainkan juga destruktif, bukan saja bagi keilmuan itu sendiri, melainkan juga bagi pengembangan peradaban secara keseluruhan.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />G. Kesimpulan<br />Berdasar dengan pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ilmu merupakan bagian terpenting dalam membangun dan mengembangkan kebudayaan nasional. Ilmu dan kebudayaan saling memiliki ketergantungan. Kebudayaan yang merupakan seperangkat nilai yang berlaku dalam masyarakat harus di dasari oleh ilmu, agar kebudayaan tersebut dapat selalu berkembang sesuai dengan jalurnya. Sementara ilmu tidak dapat berkembang jika tidak di iringi oleh kebudayaan, dalam hal ini adalah kebudayaan ilmiah.<br />Negara kita telah mengalami polarisasi dan membentuk kebudayaan sendiri. Polarisasi ini didasarkan kepada kecenderungan beberapa kalangan tertentu untuk memisahkan ilmu kedalam dua golongan yakni ilum-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Dalam pengembangan kebudayaan nasional, ilmu tidak boleh dikotomi karena dengan adanya pembagian jurusan ini merupakan hambatan psikologis dan intelektual bagi pengembangan keilmuan di Negara kita. Dualisme kebudayaan mengenai ilmu yang berada di nagara ini (ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial) harus segera dihindari dan dicari sosulusi yang terbaik, agar tidak menghambat perkembangan kebudayaan nasional kita.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Daftar Pustaka<br /><br /><br />Natawidjaja, Rahman, dkk. 2007. Laandasan Filsafat, Teori dan Praksis Ilmu Pendidikan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia Press.<br /><br />SuriaSumantri, Yuyun S. 1990. Filsafat Ilmu; Sebuah Penghantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.<br /><br />SuriaSumantri, Yuyun S. 2001. Ilmu dalam perspektif; sebuah kumpulan karangan tentang ilmu. Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia.<br /><br />http://m.www.yahoo.com/<br /><br />http://scribd.com/doc/ /FILSAFATILMU.pdf<br /><br />http://scribd.com.FilsafatIlmu_dan_MetodeRiset<br /></div>Heru_Aja24http://www.blogger.com/profile/16183423922173939972noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4648115796326830398.post-63086498558872444042009-11-06T06:56:00.000-08:002009-11-06T06:57:55.277-08:00PENGERTIAN PENDIDIKAN, TEKNOLOGI DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN<div style="text-align: justify;"><br /><br />A. PENGERTIAN PENDIDIKAN<br />Pendidikan, seperti sifat sasarannya yaitu manusia, mengandung banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks. Karena sifatnya yang kompleks itu, maka tidak sebuah batasan pun yang cukup memadai untuk menjelaskan arti pendidikan (Tirtarahardja, 2005:33).<br />Pengertian pendidikan berdasarkan batasan pendidikan ditinjau dari fungsinya (Tirtarahardja, 2005:33):<br />1. Pendidikan sebagai proses Transformasi Budaya<br />Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi lain<br />2. Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi<br />Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah pada terbentuknya kepribadian peserta didik.<br />3. Pendidikan sebagai proses menyiapkan warga negara<br />Pendidikan sebagai proses menyiapkan warga negara diartikan sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga Negara yang baik.<br />4. Pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja<br />Pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar untuk bekerja.<br /><br />Secara umum, pendidikan diartikan sebagai upaya mengembangkan kualitas pribadi manusia dan membangun karakter bangsa yang dilandasi nilai-nilai agama, filsafat, psikologi, social budaya dan ipteks yang bermuara pada pembentukan pribadi manusia bermoral dan berakhlak mulia serta berbudi luhur.<br />Pengertian Pendidikan bermacam-macam antara lain menurut (http://dimasputra16.wordpress.com/2008/05/26/definisi-pendidikan):<br />a. Diana Revitch<br />Pendidikan adalah usaha atau upaya yang penuh pertimbangan, sistematis dan berkelanjutan untuk membangkitkan, mendorong, memotivasi dan memperoleh pengetahuan, sikap, ketrampilan, sensibilitas, emosional, serta intelektual.<br /><br />b. UU RI No 4 Tahun 1950, yang pelaksanaanya pada tahun 1954.<br />Pendidikan adalah membentuk manusia yang cakap.<br /><br />c. UU RI No 2 Tahun 1989 Tentang Sisdiknas<br />Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.<br /><br />d. UU RI No 20 tahun 2003 Tentang Sisdiknas<br />Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.<br /><br />e. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , (2001) makna pendidik secara etimology adalah orang yang mendidik, sedangkan makna pendidik secara terminology adalah memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntutan, pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran, dan makna pendidik secara sociology adalah orang yang mampu berkomunikasi baik lisan, tulisan atau isyarat secara efektif kepada peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua, serta masyarakat sekitarnya.<br /><br />f. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan meliputi pengajaran keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan, pertimbangan dan kebijaksanaan. Salah satu dasar utama pendidikan adalah untuk mengajar kebudayaan melewati generasi.<br /><br />Definisi pendidikan menurut para ahli, (http://www.idonbiu.com/2009/07/ definisi-pendidikan-secara-umum.html) adalah sebagai berikut:<br />• Menurut Juhn Dewey, pendidikan adalah suatu proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk untuk menghasilkan kesinambungan social. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan dari orang yang belum dewasa dan kelompok dimana diahidup. (A.Yunus,1999:7)<br />Menurut H. Horne, pendidikan adalah proses yang terus menerus (abadi) dari penyesuaian yang lebih tinggi bagi makhluk manusia yang telah berkembang secara fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepada vtuhan, seperti termanifestasi dalam alam sekitar intelektual, emosional dan kemanusiaan dari manusia. (A.Yunus,1999:7).<br />• Menurut Frederick J. Mc Donald, pendidkan adalah suatu proses atau kegiatan yang diarahkan untuk merubah tabiat (behavior) manusia. Yang dimaksud dengan behavior adalah setiap tanggapan atau perbuatan seseorang, sesuatu yang dilakukan oleh sesorang. (A. Yunus, 1999 : 7- 8)<br />• Menurut M.J. Langeveld, pendidikan adalah setiap pergaulan yang terjadi adalah setiap pergaulan yang terjadi antara orang dewasa dengan anak-anak merupakan lapangan atau suatu keadaan dimana pekerjaan mendidik itu berlangsung.<br />Berdasarkan pengertian diatas dapat kita simpulkan, pendidikan adalah suatu proses yang dilakukan secara sadar untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.<br /><br /><br /><br />DEFINISI TEKNOLOGI<br /><br /><br />Teknologi atau pertukangan memiliki lebih dari satu definisi. Salah satunya adalah pengembangan dan aplikasi dari alat, mesin, material dan proses yang menolong manusia menyelesaikan masalahnya. Sebagai aktivitas manusia, teknologi mulai sebelum sains dan teknik.<br />Pengertian Teknologi sebenarnya berasal dari kata Bahasa Perancis yaitu “La Teknique“ yang dapat diartikan dengan ”Semua proses yang dilaksanakan dalam upaya untuk mewujudkan sesuatu secara rasional”. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan sesuatu tersebut dapat saja berupa benda atau konsep, pembatasan cara yaitu secara rasional adalah penting sekali dipahami disini sedemikian pembuatan atau pewujudan sesuatu tersebut dapat dilaksanakan secara berulang (repetisi). (http://cheuw.com/arti-teknologi)<br />Kata teknologi sering menggambarkan penemuan dan alat yang menggunakan prinsip dan proses penemuan saintifik yang baru ditemukan. Meskipun demikian, penemuan yang sangat lama seperti roda juga disebut sebuah teknologi.<br />Definisi lainnya (digunakan dalam ekonomi) adalah teknologi dilihat dari status pengetahuan kita yang sekarang dalam bagaimana menggabungkan sumber daya untuk memproduksi produk yang diinginkan( dan pengetahuan kita tentang apa yang bisa diproduksi). Oleh karena itu, kita dapat melihat perubahan teknologi pada saat pengetahuan teknik kita meningkat.<br />(http://id.wikipedia.org/wiki/Teknologi)<br /><br />Menurut Perdinand Braudel<br />Teknologi adalah segala sesuatu teknologi bukannya sekedar aplikasi ilmu pengetahuan melainkan juga perbaikan, proses serta sarana yang memungkinkan suatu generasi menggerakkan pengetahuan generasi sebelumnya sebagai dasar bertindak (Seels, 1994:7).<br /><br />Menurut James Finn<br />Technology includes processes, systems, management and control mechanisms both human and non human, and a way of looking at the problems as to their interest and difficulty, the feasibility of technical solutions, and the economic values (selain diartikan sebagai mesin, teknologi bisa mencakup proses, sistem, manajemen, dan mekanisme pantauan; baik manusia itu sendiri atau bukan, serta, cara pandang terhadap masalah berikut lingkupnya, tingkat kesukaran, studi kelayakan, serta cara mengatasi masalah secara teknis dan ekonomis) (Gentry, 1995:2).<br /><br />Menurut Brooks<br />Teknologi tidak hanya berasal dari bidang ilmu pengetahuan melainkan juga bidang-bidang lain seperti seni dan penemuan sosial (Seels, 1994:7).<br /><br />Menurut Rogers<br />Teknologi adalah suatu rancangan langkah instrumental untuk memperkecil keraguan mengenai hubungan sebab akibat dalam mencapai hasil yang diharapkan (Seels, 1994:7).<br /><br />Teknologi merupakan hasil rekayasa manusia yang diciptakembangkan untuk mengatasi masalah atau keterbatasan manusia. Teknologi menurut Gaibraith dapat diartikan sebagai Penerapan sistematik dari pengetahuan ilmiah/terorganisasikan dalam hal-hal yang praktis (http://cheuw.com/arti-teknologi/)<br />Teknologi juga penerapan keilmuan yang mempelajari dan mengembangkan kemampuan dari suatu rekayasa dengan langkah dan teknik tertentu dalam suatu bidang. Teknologi merupakan Aplikasi ilmu dan engineering untuk mengembangkan mesin dan prosedur agar memperluas dan memperbaiki kondisi manusia atau paling tidak memperbaiki efisiensi manusia pada beberapa aspek. (http://cheuw.com/arti-teknologi/)<br />Throughout the twentieth century the uses of the term have increased to the point where it now encompasses a number of “classes” of technology:<br />1. Technology as Objects:<br />Tools, machines, instruments, weapons, appliances - the physical devices of technical performance<br />2. Technology as Knowledge:<br />The know-how behind technological innovation<br />3. Technology as Activities:<br />What people do - their skills, methods, procedures, routines<br />4. Technology as a Process:<br />Begins with a need and ends with a solution<br />5. Technology as a Sociotechnical System:<br />The manufacture and use of objects involving people and other objects in combination (http://atschool.eduweb.co.uk/trinity/watistec.html).<br />Dari pengrtian diatas, dapat disimpulkan bahwa teknologi adalah alat (sarana), system dan proses untuk meningkatkan produktivitas dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DEFINISI TEKNOLOGI PENDIDIKAN<br /><br /><br />Berdasarkan definisi AECT 2004 ( AECT Definition and Terminologi Committee document #MM4.0 ), Teknologi Pendidikan adalah: Educational technology is the study and ethical practice of facilitating learning and improving performance by creating, using, and managing appropriate technological processes and resources. (Teknologi pendidikan adalah studi dan etika praktek untuk memfasilitasi pembelajaran dan meningkatkan kinerja melalui penciptaan, penggunaan, dan pengaturan proses dan sumber daya teknologi.)<br />Menurut Prof.Dr.Yusuf Hadi Miarso, M.Sc, Teknologi pendidikan adalah;<br />• Suatu proses yang kompleks dan terintegrasi meliputi manusia, alat, dan sistem, termasuk diantara gagasan, prosedur dan organisasi.<br />• Suatu bidang yang berkepentingan dengan pengembangan secara sistematis berbagai macam sumber belajar, termasuk didalamnya pengelolaan dan penggunaan sumber tersebut.<br />• Suatu bidang profesi yang terbentuk dengan adanya usaha terorganisasikan dalam mengembangkan teori, melaksanakan penelitian, dan aplikasi praktis perluasan, serta peningkatan sumber belajar.<br />• Bergerak dalam keseluruhan bidang pendidkan dan mengusahakan terciptanya keseimbangan kerjasama yang selaras dengan berbagai profesi pendidikan lain.<br /><br />Beberapa definisi yang dianggap kokoh dan permanen diantaranya adalah definisi yang diluncurkan oleh Komisi khusus AECT tahun 1977 dan definisi yang diluncurkan oleh Seels & Richey tahun 1994 dan masih disponsori oleh organisasi profesi ini. Berikut rinciannya (http://www.teknologipendidikan.net/ wp-content/uploads/2008/02/dsp_visi_teknologi_pendidikan.pdf)<br />.<br /><br />Rumusan tahun 1972<br />“Teknologi pendidikan sebagai bidang garapan yang terlibat dalam penyiapan fasilitas belajar (manusia) melalui penelusuran, pengembangan, organisasi, dan pemanfaatan sistematis seluruh sumber-sumber belajar; dan melalui pengelolaan seluruh proses ini”.<br />Definisi di atas diambil dan disarikan dari rumusan sebelumnya, yaitu tahun 1963, 1970, dan 1971. Sewaktu merumuskan definisi tadi, para pakar menyatakan teknologi pendidikan sebagai bidang garapan. Mereka berusaha mencari peluang keahlian yang dapat dijadikan sebagai ‘pekerjaan’ dan mengembangkan keahlian tersebut berdasarkan pengalaman kerja yang diperoleh.<br /><br />Rumusan tahun 1977<br />Tahun 1977 AECT membedakan dua rumusan teknologi pendidikan dengan teknologi instruksional. Berikut uraiannya.<br />• teknologi pendidikan<br />Definisi teknologi pendidikan berbunyi, “….. proses yang rumit dan terpadu, melibatkan orang, prosedur, gagasan, peralatan, dan organisasi untuk menganalisis dan mengolah masalah, kemudian menggunakan, mengevaluasi, dan mengelola seluruh upaya pemecahan masalahnya yang termasuk dalam seluruh aspek belajar (manusia)”.<br />• teknologi instruksional<br />Teknologi instruksional ialah “satu bagian dari teknologi pendidikan – dengan asumsi sebagai akibat dari konsep instruksional sebagai bagian pendidikan – bersifat rumit dan terpadu, melibatkan orang, prosedur, gagasan, peralatan, dan organisasi untuk menganalisis dan mengolah masalah, kemudian menerapkan, mengevaluasi dan mengelola pemecahan masalah pada situasi dimana proses belajar terarah dan terpantau”. Rumusan tersebut mengandalkan teknologi pendidikan sebagai suatu proses – kegiatan berkesinambungan, dan merinci kegiatan yang harus dilaksanakan oleh para praktisinya.<br /><br />Rumusan tahun 1994.<br />Setelah 17 tahun menerapkan konsep yang sama, akhirnya AECT melalui dua anggotanya meluncurkan definisi terbaru. Rumusan tersebut berbunyi, “teknologi instruksional merupakan teori dan terapan atas rancangan, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, serta evaluasi atas proses dan sumber-sumber belajar”.<br /><br />Empat konsep dasar teknologi pendidikan dan teknologi instruksional dari narasumber berbeda (http://www.teknologipendidikan.net/wp-content/uploads/ 2008/02/dsp_visi_teknologi_pendidikan.pdf)<br /><br />Michael Molenda<br />Molenda (1989) mencoba merumuskan teknologi instruksional sebagai “seni sekaligus ilmu (pengetahuan) mengenai kegiatan merancang, memproduksi dan melaksanakannya dengan cara ekonomis namun anggun / canggih, pemecahan masalah instruksional – dalam bentuk media cetak atau media pandang-dengar, kuliah, atau keseluruhan sistem instruksional – yang mengatur dan mempersiapkan proses belajar dengan efisien dan efektif.<br />Molenda menekankan perpaduan antara unsur seni sekaligus ilmiah dalam menyelenggarakan proses belajar dengan cara berhemat tetapi tidak mengesampingkan mutu hasil belajar.<br /><br />Robert M Gagne<br />Bagi Gagne, “teknologi instruksional menyangkut tehnik praktis dari penyampaian instruksional yang melibatkan penggunaan media. Tujuan utama bidang teknologi instruksional adalah meningkatkan dan memperkenalkan penerapan pengetahuan tadi dan memvalidasikan prosedur dalam rancangan dan penyempaian instruksional”.<br />Gagne menginginkan upaya pengolahan materi belajar menjadi prioritas agar interaksi belajar terjadi. Interaksi belajar timbul karena si belajar sedang menyerap materi dan menginterpretasikannya sendiri – menulis kembali satu alinea, atau mengingat rumus – bisa pula terjadi antara si belajar dengan orang lain, misalnya guru, temannya, atau narasumber lain.<br /><br />Gary J Anglin<br />Anglin, 1995 mengamati struktur dan prosedur kerja seluruh komponen yang teruji dan rapi ternyata lebih penting. Ia mengatakan, “teknologi instruksional adalah penerapan sistemik dan sistematis dari strategi-strategi dan tehnik-tehnik yang berasal dari ilmu perilaku serta ilmu lain untuk mengatasi masalah instruksional”. Pernyataannya menegaskan bahwa konsep teknologi instruksional menerapkan atau “meminjam” bidang lain dalam menciptakan proses belajar kondusif.<br /><br />Tjeerd Plomp & Donald P Ely<br />Plomp & Ely berbeda lagi. Dengan merujuk pada konsep Finn, mereka mengungkapkan dua aspek pokok dalam teknologi instruksional. Kedua aspek tersebut yakni :<br />1. teknologi instruksional mengacu pada proses belajar dan<br />2. pengembangan produk merupakan materi belajar yang telah diuji dan direvisi secara sistematis.<br /><br />Gentri menyimpulkan Teknologi Pendidikan sebagai “aplikasi strategi maupun teknik yang sistemik maupun sistematik yang diambil dari konsep ilmu pengetahuan alam maupun pengetahuan lain dalam memecahkan masalah pembelajaran (Seels, 1994:8)<br />Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa teknologi pendidikan adalah penerapan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dalam menyelesaikan permasalahan pembelajaran agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan optimal.<br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Anglin, Gary J. 1995. Instructional Technology; Past, Present and Future. Liberaries Unlimited, INC. colorado<br /><br />Seels, Barbara B. and Richey Rita C. 1994. Teknologi Pembelajaran; Definisi dan Kawasannya. Unit Penerbitan Universitas Negeri Jakarta: Jakarta<br /><br />Tirtarahardja, Umar dan La Sulo,SL. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta<br /><br />(http://dimasputra16.wordpress.com/2008/05/26/definisi-pendidikan):<br />(http://www.idonbiu.com/2009/07/ definisi-pendidikan-secara-umum.html)<br />(http://cheuw.com/arti-teknologi)<br />(http://id.wikipedia.org/wiki/Teknologi)<br />(http://atschool.eduweb.co.uk/trinity/watistec.html).<br /><br />(http://www.teknologipendidikan.net/wp-content/uploads/2008/02/dsp_visi_ <br />teknologi_pendidikan.pdf)<br /><br /><br /><br /></div>Heru_Aja24http://www.blogger.com/profile/16183423922173939972noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4648115796326830398.post-6480451193711025082009-11-06T06:35:00.000-08:002009-11-06T06:54:38.985-08:00ONTOLOGI (METAFISIKA, ASUMSI, DAN PELUANG)<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhYNGk6kXPO8CFQeJA7tWOqdqyL7XK5Zs0t_NuHOOZ-IE_z07-lMScGIasGEiQDGqpeUuO51VQQTfivFoKIXL0xXjs1jSnpDUyH8sfBtz9nppqxYXQ1ZB-9JgdDD_lvVpE0AIXYKzUPpLg/s1600-h/filsafat.jpg"><img style="margin: 0pt 10px 10px 0pt; float: left; cursor: pointer; width: 240px; height: 319px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhYNGk6kXPO8CFQeJA7tWOqdqyL7XK5Zs0t_NuHOOZ-IE_z07-lMScGIasGEiQDGqpeUuO51VQQTfivFoKIXL0xXjs1jSnpDUyH8sfBtz9nppqxYXQ1ZB-9JgdDD_lvVpE0AIXYKzUPpLg/s320/filsafat.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5401000178013949154" border="0" /></a><br /><div style="text-align: justify;"><br />1. Pendahuluan<br /><br />1.1 Latar Belakang<br />Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Thales berpenderian bahwa segala sesuatu tidak berdiri dengan sendirinya melainkan adanya saling keterkaitan dan keetergantungan satu dengan lainnya.<br />Ontologi secara ringkas membahas realitas atau suatu entitas dengan apa adanya. Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar pembahasan realitas.<br />Menurut Hornby (1974), filsafat adalah suatu sistem pemikiran yang terbentuk dari pencarian pengetahuan tentang watak dan makna kemaujudan atau eksistensi. Filsafat dapat juga diartikan sebagai sistem keyakinan umum yang terbentuk dari kajian dan pengetahuan tentang asas-asas yang menimbulkan, mengendalikan atau menjelaskan fakta dan kejadian. Secara ringkas, dengan demikian, filsafat diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu makna. Hornby menyatakan pula bahwa pengetahuan ialah keseluruhan hal yang diketahui, yang membentuk persepsi jelas mengenai kebenaran atau fakta. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang diatur dan diklasifikasikan secara tertib, membentuk suatu sistem pengetahuan, berdasar rujukan kepada kebenaran atau hukum-hukum umum.<br />Ilmu merupakan kegiatan untuk mencari pengetahuan dengan jalan melakukan pengamatan atau pun penelitian, kemudian peneliti atau pengamat tersebut berusaha membuat penjelasan mengenai hasil pengamatan/penelitiannya. Dengan demikian, ilmu merupakan suatu kegiatan yang sifatnya operasional. Jadi terdapat runtut yang jelas dari mana suatu ilmu pengetahuan berasal.<br />Karena sifat yang operasional tersebut, ilmu pengetahuan tidak menempatkan diri dengan mengambil bagian dalam pengkajian hal-hal normatif. Ilmu pengetahuan hanya membahas segala sisi yang sifatnya positif semata. Hal-hal yang bekaitan dengan kaedah, norma atau aspek normatif lainnya tidak dapat menjadi bagian dari lingkup ilmu pengetahuan.<br />Bagaimana ilmu pengetahuan diperoleh? Ilmu pengetahuan dihasilkan dari perilaku berfikir manusia yang tersusun secara akumulatif dari hasil pengamatan atau penelitian. Berfikir merupakan kegiatan penalaran untuk mengeksplorasi suatu pengetahuan atau pengalaman dengan maksud tertentu. Makin luas dan dalam suatu pengalaman atau pengetahuan yang dapat dieksplorasi, maka makin jauh proses berfikir yang dapat dilakukan. Hasil eksplorasi pengetahuan digunakan untuk mengabstraksi obyek menjadi sejumlah informasi dan mengolah informasi untuk maksud tertentu. Berfikir merupakan sumber munculnya segala pengetahuan. Pengetahuan memberikan umpan balik kepada berfikir. Hubungan interaksi antara berfikir dan pengetahuan berlangsung secara sinambung dan berangsur meninggi, dan kemajuan pengetahuan akan berlangsung secara kumulatif. Bagian terpenting dari berfikir adalah kecerdasan mengupas (critical intelegence).<br />Suatu pengetahuan dihasilkan dari proses berfikir yang benar, dalam arti sesuai dengan tujuan mencari ilmu pengetahuan, maka seorang pengamat atau peneliti harus menggunakan penalaran yang benar dalam berfikir. Hasil penalaran itu akan menghasilkan kesimpulan yang dianggap sahih dari sisi keilmuan. Nalar merupakan kemampuan untuk memahami informasi dan menarik kesimpulan dari informasi yang ada. Secara umum penalaran dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu deduksi dan induksi.<br /><br />1.2 Masalah<br />Dari latar belakang diatas maka didapatkan permasalahan :<br />1) Bagaimana Ontologi itu sendiri ?<br />2) Bagaimana Metafisika itu ?<br />3) Apa itu Asumsi ?<br />4) Apa itu Peluang ?<br /><br /><br />2. Pembahasan<br />2.1 Pengertian Ontologi<br />1. Menurut bahasa,<br />Ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu : On/Ontos = ada, dan Logos = ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada.<br />2. Menurut istilah,<br />Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak (Bakhtiar , 2004).<br />3. Menurut Suriasumantri (1985),<br />Ontologi membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau, dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Telaah ontologis akan menjawab pertanyaan-pertanyaan :<br />a) apakah obyek ilmu yang akan ditelaah,<br />b) bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut, dan<br />c) bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan.<br />4. Menurut Soetriono & Hanafie (2007)<br />Ontologi yaitu merupakan azas dalam menerapkan batas atau ruang lingkup wujud yang menjadi obyek penelaahan (obyek ontologis atau obyek formal dari pengetahuan) serta penafsiran tentang hakikat realita (metafisika) dari obyek ontologi atau obyek formal tersebut dan dapat merupakan landasan ilmu yang menanyakan apa yang dikaji oleh pengetahuan dan biasanya berkaitan dengan alam kenyataan dan keberadaan.<br />5. Menurut Pandangan The Liang Gie<br />Ontologi adalah bagian dari filsafat dasar yang mengungkap makna dari sebuah eksistensi yang pembahasannya meliputi persoalan-persoalan :<br /> Apakah artinya ada, hal ada ?<br /> Apakah golongan-golongan dari hal yang ada ?<br /> Apakah sifat dasar kenyataan dan hal ada ?<br /> Apakah cara-cara yang berbeda dalam mana entitas dari kategori-kategori logis yang berlainan (misalnya objek-objek fisis, pengertian universal, abstraksi dan bilangan) dapat dikatakan ada ?<br />6. Menurut Ensiklopedi Britannica Yang juga diangkat dari Konsepsi Aristoteles<br />Ontologi Yaitu teori atau studi tentang being / wujud seperti karakteristik dasar dari seluruh realitas. Ontologi sinonim dengan metafisika yaitu, studi filosofis untuk menentukan sifat nyata yang asli (real nature) dari suatu benda untuk menentukan arti , struktur dan prinsip benda tersebut. (Filosofi ini didefinisikan oleh Aristoteles abad ke-4 SM)<br />Pengertian paling umum pada ontologi adalah bagian dari bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Pengertian ini menjadi melebar dan dikaji secara tersendiri menurut lingkup cabang-cabang keilmuan tersendiri. Pengertian ontologi ini menjadi sangat beragam dan berubah sesuai dengan berjalannya waktu.<br />Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah knowledge base. Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah knowledge base”. Dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada.<br />Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang:<br />1. kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?<br />2. Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.<br />Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis.<br /><br /><br />2.2 Metafisika<br /><br />Dalam bahasa Inggris berakar dari bahasa Yunani ‘on’ berarti ada dan ontos berarti keberadaan, logos berarti pemikiran Lorens Bagus : 2000).<br />Ontologi menurut A.R. Lacey, ontologi berarti ‘” a central part of metaphisics” (bagian sentral dari metafisika) sedangkan metafisika diartikan sebagai that which comes after physics, … the study of nature in general (hal yang hadir setelah fisika, … studi umum mengenai alam)<br />Berdasarkan asal katabya Metafisika dapat diartikan (Bahasa Yunani: μετά (meta) = "setelah atau di balik", φύσικα (phúsika) = "hal-hal di alam") adalah cabang filsafat yang mempelajari penjelasan asal atau hakekat objek (fisik) di dunia. Metafisika adalah studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta?<br />Pembahasan ontologi terkait dengan pembahasan mengenai metafisika. Mengapa ontologi terkait dengan metafisika? Ontologi membahas hakikat yang “ada”, metafisika menjawab pertanyaan apakah hakikat kenyataan ini sebenar-benarnya? Pada suatu pembahasan, metafisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada pembahasan lain, ontologi merupakan salah satu dimensi saja dari metafisika. Karena itu, metafisika dan ontologi merupakan dua hal yang saling terkait. Bidang metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah. Metafisika berusaha menggagas jawaban tentang apakah alam ini. Terdapat Beberapa penafsiran yang diberikan manusia mengenai alam ini (Jujun, 2005).<br />a. Supernaturalisme<br />Di alam terdapat wujud-wujud gaib (supernatural) dan ujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih berkuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Dari paham Supernatural ini lahirla tafsiran-tafsiran cabang seperti Animisme, dimana manusia percaya bahwa terdapat roh yang sifatnya gaib terdapat dalam benda-benda.<br />b. Naturalisme.<br />Paham ini amat bertentangan dengan paham supernaturalisme. Paham naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena kekuatan yang terdapat dalam itu sendiri,yang dapat dipelajari dan dapat diketahui. Orang-orang yang menganut paham naturalisme ini beranggapan seperti itu karena standar kebenaran yang mereka gunakan hanyalah logika akal semata, sehingga mereka mereka menolak keberadaan hal-hal yang bersifat gaib itu.<br />Dari paham naturalisme ini juga muncul paham materialisme yang menganggap bahwa alam semesta dan manusia berasal dari materi. Salah satu pencetusnya ialah Democritus (460-370 S.M). Adapun bagi mereka yang mencoba mempelajari mengenai makhluk hidup. Timbul dua tafsiran yang masing saling bertentangan yakni paham mekanistik dan paham vitalistik. Kaum mekanistik melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia-fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substansif dengan hanya sekedar gejala kimia-fisika semata.<br />Berbeda halnya dengan telaah mengenai akal dan pikiran, dalam hal ini ada dua tafsiran yang juga saling berbeda satu sama lain. Yakni paham monoistik dan dualistik. sudah merupakan aksioma bahwa proses berpikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat (objek) yang ditelaahnya. Dari sini aliran monoistik mempunyai pendapat yang tidak membedakan antara pikiran dan zat.keduanya (pikiran dan zat) hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai subtansi yang sama. Pendapat ini ditolak oleh kaum yang menganut paham dualistik. Dalam metafisika, penafsiran dualistik membedakan antara zat dan kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda secara substansif. Aliran ini berpendapat bahwa yang ditangkap oleh pikiran adalah bersifat mental. Maka yang bersifat nyata adalah pikiran, sebab dengan berpikirlah maka sesuatu itu lantas ada.<br /><br /><br />2.3 Asumsi<br />Setiap ilmu selalu memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak.<br />Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektal suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai merupakan gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. McMullin (2002) menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek sebelum melakukan penelitian. Sebuah contoh asumsi yang baik adalah pada Pembukaan UUD 1945: “ …kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa..” “…penjajahan diatas bumi…tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Tanpa asumsi-asumsi ini, semua pasal UUD 1945 menjadi tidak bermakna.<br />Apakah suatu hipotesis merupakan asumsi? Ya, jika diperiksa ke belakang (backward) maka hipotesis merupakan asumsi. Jika diperiksa ke depan (forward) maka hipotesis merupakan kesimpulan. Untuk memahami hal ini dapat dibuat suatu pernyataan: “Bawalah payung agar pakaianmu tidak basah waktu sampai ke sekolah”. Asumsi yang digunakan adalah hujan akan jatuh di tengah perjalanan ke sekolah. Implikasinya, memakai payung akan menghindarkan pakaian dari kebasahan karena hujan.<br />Dengan demikian, asumsi menjadi masalah yang penting dalam setiap bidang ilmu pengetahuan. Kesalahan menggunakan asumsi akan berakibat kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Asumsi yang benar akan menjembatani tujuan penelitian sampai penarikan kesimpulan dari hasil pengujian hipotesis. Bahkan asumsi berguna sebagai jembatan untuk melompati suatu bagian jalur penalaran yang sedikit atau bahkan hampa fakta atau data.<br />Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal, antara lain; Aksioma. Pernyataan yang disetujui umum tanpa memerlukan pembuktian karena kebenaran sudah membuktikan sendiri.Postulat. Pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa pembuktian, atau suatu fakta yang hendaknya diterima saja sebagaimana adanya Premise. Pangkal pendapat dalam suatu entimen . Pertanyaan penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana penggunaan asumsi secara tepat? Untuk menjawab permasalahan ini, perlu tinjauan dari awal bahwa gejala alam tunduk pada tiga karakteristik (Junjung, 2005):<br />1. Deterministik.<br />Paham determinisme dikembangkan oleh William Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu.<br />2. Pilihan Bebas<br />Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya, tidak terikat pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif. Karakteristik ini banyak ditemukan pada bidang ilmu sosial. Sebagai misal, tidak ada tolak ukur yang tepat dalam melambangkan arti kebahagiaan. Masyarakat materialistik menunjukkan semakin banyak harta semakin bahagia, tetapi di belahan dunia lain, kebahagiaan suatu suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu melestarikan budaya animismenya. Sebagai mana pula masyarakat brahmana di India mengartikan bahagia jika mampu membendung hasrat keduniawiannya. Tidak ada ukuran yang pasti dalam pilihan bebas, semua tergantung ruang dan waktu.<br />3. Probabilistik<br />Pada sifat probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal memang ada namun sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku deterministik dengan peluang tertentu. Probabilistik menunjukkan sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki sifat deterministik dengan menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan modern, karakteristik probabilitas ini lebih banyak dipergunakan. Dalam ilmu ekonomi misalnya, kebenaran suatu hubungan variabel diukur dengan metode statistik dengan derajat kesalahan ukur sebesar 5%. Pernyataan ini berarti suatu variabel dicoba diukur kondisi deterministiknya hanya sebesar 95%, sisanya adalah kesalahan yang bisa ditoleransi. Jika kebenaran statistiknya kurang dari 95% berarti hubungan variabel tesebut tidak mencapai sifat-sifat deterministik menurut kriteria ilmu ekonomi.<br />Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat, permasalahan utamanya adalah mempertanyakan pada pada diri sendiri (peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham deterministik. Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka akan digunakan asumsi pilihan bebas. Di antara kutub deterministik dan pilihan bebas, penafsiran probabilistik merupakan jalan tengahnya.<br />Ilmuwan melakukan kompromi sebagai landasan ilmu. Sebab ilmu sebagai pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap hal-hal hakiki dalam kehidupan. Karena itu; Harus disadari bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak.<br />Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif<br />Jadi, berdasarkan teori-teori keilmuan, tidak akan pernah didapatkan hal pasti mengenai suatu kejadian. Yang didapatkan adalah kesimpulan yang probabilistik, atau bersifat peluang.<br />Seberapa banyak asumsi diperlukan dalam suatu analisis keilmuan? Semakin banyak asumsi berarti semakin sempit ruang gerak penelaahan suatu obyek observasi. Dengan demikian, untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat analistis, yang mampu menjelaskan berbagai kaitan dalam gejala yang ada, maka pembatasan dalam bentuk asumsi yang kian sempit menjadi diperlukan.<br />Bagaimana cara mengembangkan asumsi ini?<br />Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin ilmu. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya” bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”. Jadi asumsi harus bersifat das sein bukan das sollen. Asumsi harus bercirikan positif, bukan normatif. Lebih lanjut mengenai asumsi dan ontologi, ontologi adalah esensi dari fenomena, apakah fenomena merupakan hal yang bersifat objektif dan terlepas dari persepsi individu atau fenomena itu dipandang sebagai hasil dari persepsi individu. Mengenai hal ini, ada dua asumsi yang berbeda:<br />Nominalime: kehidupan sosial dalam persepsi individu tak lain adalah kumpulan konsep–kosep baku, nama dan label yang akan mengkarakteristikkan realitas yang ada. Intinya, realita dijelaskan melalui konsep yang telah ada. Realisme: kehidupan sosial adalah merupakan kenyataan yang tersusun atas struktur yang tetap, tidak ada konsep yang mengartikulasikan setiap realita tersebut dan realita tidak tergantung pada persepsi individu.<br />Sebagai misal secara khusus dalam metodologi ilmu sosial, terdapat dua asumsi berbeda dalam membicarakan tentang sifat masyarakat sosial. Asumsi ini sangat penting dalam menentukan pendekatan terhadap masalah–masalah yang berhubungan dengan konflik, perubahan dan pemaksaan dalam masyarakat. Asumsi yang berbeda ini tercermin dalam dua teori:<br />Order<br />Asumsi ini lebih diterima secara umum oleh para ahli ilmu sosial. Dalam pendekatan yang menggunakan asumsi ini, masyarakat memiliki sifat:<br />• Relatif stabil.<br />• Terintegrasi dengan baik.<br />• Elemen dari masyarakat itu memiliki fungsi masing–masing dan saling berkoordinasi.<br />• Struktur sosial tercipta berdasarkan konsensus, bukan pemaksaan (coercion )<br />• Konflik<br />• Dalam pendekatan yang menggunakan asumsi ini, masyarakat memiliki sifat :<br />• Mengalami perubahan di banyak aspek<br />• Mengalami konflik di banyak aspek.<br />Setiap elemen dari masyarakat memiliki kontribusi ke arah disintegrasi<br />Perbedaan order versus konflik ini cenderung ditinggalkan dan digantikan oleh regulation (regulasi) versus radical change (perubahan radikal). Pandangan yang bersifat regulasi lebih terkait pada bagaimana masyarakat cenderung menjadi sebuah kesatuan dan adanya kebutuhan akan regulasi. Pandangan perubahan radikal berfokus kepada bagaimana terciptanya perubahan radikal, konflk, dominasi dan kontradiksi. Penelaahan suatu ilmu pengetahuan sosial yang mengkaji permasalahan dalam masyarakat, terlebih entitas lokal, perlu menggunakan pilihan asumsi yang tepat. Bidang kajian ilmu ekonomi pembangunan perlu melihat kondisi aspek kemasyarakatan secara detil. Kesalahan penggunaan asumsi akan memberikan dampak negatif bagi obyek penelitian, yaitu masyarakat dari obyek pengetahuan tersebut. Dengan demikian, kebijakan sebagai langkah akhir dari penelitian mengenai proses pembangunan masyarakat tersebut menjadi bias dan tidak tepat.<br /><br /><br /><br />2.4 Peluang<br />Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik.<br />Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di mana didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.<br />Probabilitas merupakan salah satu konsep yang sering kita gunakan untuk mendeskripsikan realitas di dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, aplikasinya tidaklah terbatas hanya pada percakapan keseharian tersebut, namun juga mencakup wilayah konversasi yang lebih serius dan refleksif, yaitu sains. Dengan kata lain, probabilitas acapkali digunakan sebagai perangkat eksplanasi ilmiah. Hal ini seolah-olah dijustifikasi oleh Carl Hempel, salah satu filsuf sains utama pada abad 20, ketika dalam karya monumentalnya, Philosophy of Natural Science, mengakui adanya dua jenis wujud hukum yang berperan di dalam eksplanasi ilmiah, yaitu hukum yang universal (laws of universal form) dan hukum yang probabilistik (laws of probabilistic form).<br />Mari kita perhatikan keterangan dari Hempel berikut ini, “scientific hypotheses in the form of statistical probability statements can be, and are, tested by examining the long-run relative frequencies of the outcomes concerned, and the confirmation of such hypotheses is then judged, broadly speaking, in terms of the closeness of the agreement between hypothetical probabilities and observed frequencies.”<br />Konsepsi probabilitas sebagai ekspresi kontingensi tidaklah memberikan implikasi semacam itu. Tidaklah bertentangan dengan klaim kontingensi jika objek yang dianggap kontingen itu amat jarang muncul atau bahkan tidak muncul sama sekali dalam aktualitas kehidupan. Seorang theis bisa mengatakan, “mujikzat itu mungkin akan dialami oleh saya,” dan meyakininya secara valid walaupun hingga ajalnya ia tidak pernah menikmati mujikzat tersebut. Dengan kata lain, benar-salahnya suatu klaim kontingensi itu tidak ditentukan oleh jumlah aktualisasi dari posibilitas yang ada. Konsepsi ini tentang probabilitas bukannya tidak memiliki kemampuan prediksi sama sekali, hanya saja yang ia bisa berikan adalah prediksi negatif belaka (tentang apa yang tidak akan terjadi), bukan prediksi positif (tentang apa yang akan terjadi).<br />Probabilitas yang dipahami oleh Hempel di atas merupakan pemahaman probabilitas yang umum dipakai di dalam eksplanasi ilmiah. Akan tetapi, sebagaimana telah diuraikan tadi, pada pemahaman semacam itu probabilitas memiliki muatan ontologis yang berbeda daripada yang dimiliki oleh konsep probabilitas yang umum digunakan di dalam matematika, yaitu kontingensi. Perbedaan itu sendiri tidak harus menjadi masalah apabila muatan ontologis yang berbeda itu – yang memungkinkan dilakukannya prediksi positif – dapat dipertanggungjawabkan di hadapan akal sehat.<br />Apa kiranya isi muatan itu? Yang pasti ia berada di luar struktur necessity-contingency. Konsep probabilitas di sini tidak dapat dikatakan sebagai ekspresi kontingensi belaka. Yang ditegaskan lebih “kuat” daripada kontingensi, karena ada kriteria actuality yang menjadi syarat. Akan tetapi, ia juga bukanlah ekspresi necessity, mengingat deviasi secara acak selalu dimungkinkan. Jadi, ketika dikatakan di sini bahwa probabilitas a terhadap b adalah 7/10 atau 70 %, yang dimaksud bukanlah bahwa relasi kontingen antara a dan b adalah 70 persen daripada totalitas relasi kontingen yang dimiliki antara a dan b. Lalu apa? Tampaknya yang paling masuk akal untuk dimaksud oleh klaim itu adalah bahwa antara a dan b terdapat tendensi untuk berelasi sebesar 70 persen.<br /> Framework “tendensi” ini hanya dapat sungguh-sungguh menjadi intelligible ketika setiap objek dipandang sebagai person, yaitu entitas yang memiliki karakter dan kapasitas reflektif (tak peduli seberapa minimnya). Karakter menerangkan stabilitas dari pola-pola relasi pada entitas itu; stabilitas yang diekpresikan oleh term “tendensi,” dan refleksivitas menjelaskan terjadinya sejumlah penyimpangan dari pola-pola tersebut. Singkatnya, framework “tendensi” merupakan turunan dari apa yang Wilfred Sellar namakan the framework of persons. Kalau analisis ini memang tepat, maka tidak bisa dipungkiri bahwa konsep probabilitas yang ada di benak Hempel itu mengimplikasikan komitmen ontologis terhadap ontologi person tersebut.<br />Yang krusial untuk diperhatikan adalah bahwa komitmen ontologis terhadap the framework of persons itu tidak dapat disandingkan secara koheren dengan komitmen terhadap struktur necessity-contingency. Ironi dari proposal Hempel di awal tulisan ini akan dua jenis hukum ilmiah (hukum universal dan hukum probabilistik) ialah bahwa, sebagaimana kita bisa lihat sekarang, yang sesungguhnya diajukan adalah tuntutan terhadap kita untuk memilih satu di antara dua skema ontologi yang masing-masing terbuka untuk diambil. Ontologi persons juga punya nilai survivalitas. Sellar bahkan melihat skema ontologis inilah yang diakrabi pertama kali oleh manusia dalam menghadapi dunia, sehingga ontologi itu ia namakan the original image.[8] Soal akuntabilitas klaim-klaim yang diturunkannya, usaha limitasi empiris ala Hempel dan Popper dapat dilihat sebagai wujud upaya refinery atas ontologi itu.<br /> Meskipun demikian, refinery empiris semacam itu sesungguhnya tidaklah cukup, bahkan tidak relevan, bagi setiap eksplanasi, termasuk eksplanasi probabilistik, yang mengandalkan the framework of persons itu. Yang menjadi tuntutan esensial dari muatan ontologis yang terkandung pada eksplanasi semacam itu adalah keterangan akan tujuan (purpose) apa yang dilayani oleh si objek eksplanasi melalui “aksi”-nya. Eksplanasi berdasarkan ontologi persons dengan sendirinya adalah eksplanasi melalui struktur belief-desire. Konsekuensi ini, ketika disadari, akan menimbulkan problem yang amat besar bagi penggunaan klaim-klaim probabilitas yang berbasis ontologi persons itu, karena pembicaraan tentang “tujuan” yang hendak dicapai oleh suatu objek seperti dadu melalui gerak dan kondisi akhirnya merupakan objek spekulasi yang hanya pantas untuk dilakukan oleh para occultist; para penganut keyakinan akan hantu dan alam gaib. Tak heran jika di antara anggota komunitas ilmiah, pembicaraan itu sudah lama ditetapkan sebagai tidak relevan, tidak pantas, bahkan memalukan, untuk dilakukan. Tetapi, dengan menggunakan eksplanasi probabilistik, yang memiliki muatan ontologis yang berbeda dari posibilitas, komunitas ilmiah tanpa disadari justru sedang menjerumuskan dirinya ke dalam konversasi yang selevel dengan konversasi akan “makhluk-makhluk gaib” itu. Untungnya, keterjerumusan itu bukanlah suatu hal yang tidak dapat dihindari oleh ilmu pengetahuan. Ia hanya perlu meninggalkan konsep probabilitas yang selama ini populer dipakai; yang berbasiskan ontologi persons.<br /><br />3 Kesimpulan<br />Dari Pembahasan yang telah dilakukan diperoleh beberapa kesimpulan :<br />a) ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada.<br />b) Pembahasan ontologi terkait dengan pembahasan mengenai metafisika. Mengapa ontologi terkait dengan metafisika? Ontologi membahas hakikat yang “ada”, metafisika menjawab pertanyaan apakah hakikat kenyataan ini sebenar-benarnya? Pada suatu pembahasan, metafisika merupakan bagian dari ontologi, tetapi pada pembahasan lain, ontologi merupakan salah satu dimensi saja dari metafisika. Karena itu, metafisika dan ontologi merupakan dua hal yang saling terkait. Bidang metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati, termasuk pemikiran ilmiah. Metafisika berusaha menggagas jawaban tentang apakah alam ini.<br />c) Asumsi diperlukan untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus obyek telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih banyak. Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektal suatu jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai merupakan gagasan primitif, atau gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan lain yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala hal yang tersirat. McMullin (2002) menyatakan hal yang mendasar yang harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek sebelum melakukan penelitian.<br />d) Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang pasti mengenai satu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar pengambilan keputusan di mana didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.<br /><br /><br />4 Daftar Pustaka<br />A.C. Ewing, Persoalan-Persoalan Mendasar Filsafat. Jakarta:Pustaka Pelajar,2003. Terjemahan.<br />http://hilda08.wordpress.com/filsafat-ilmu_ontologi-pengetahuan/<br />http://id.wikipedia.org/wiki/Metafisika<br />http://lusytekpend.blogspot.com/2008/01/pengembangan-media-berbasis-<br />komputer.html<br />http://suparman-untad.blogspot.com/2007/10/ontologi.html<br />Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat. Yogayakarta: Tiara wacana, 1996. Terjemahan.<br />Suhartono, Suparlan. 2000. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta : Ar-Ruzz<br />Suriasumantri, Jujun S, 1998. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan<br /><br /><br /><br /><br /><br /></div>Heru_Aja24http://www.blogger.com/profile/16183423922173939972noreply@blogger.com0